Halaman

1/08/2013

makalah masa pertubuhan dan perkembangan pendidikan islam


BAB I
PENDAHULUAN
            Mempelajari sejarah pendidikan islam amat penting,terutama bagi pelajar-pelajar agama dan pemimm\pin-pemimpin islam.karena di dalam mata pelajaran sejarah pendidikan islam, pelajar dapat mengetahui sejarah atau peristiwa peristiwa di masa silam,baik sosial politik ekonomi maupun agama atau budaya pada suatu bangsa atau negara atau dunia.
             Secara umum sejarah pendidikan islam mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan manusia khususnya bagi umat muslim sendiri,karena sejarah menpunyai atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan kehidupan umat manusia.
            Sejarah pendidikan islam selain dapat menimbulkan nilai nilai baru bagi pertumbuhan umat manusia,sejarah pendidikan islam juga mempunyai kegunaan sebagai faktor faktor keteladanan bagi umat umat sekarang.
            Oleh karena itu pada kesempatan kali ini pemakalah ingin sedikit membahas tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam, yang mana pembahasannya mencakup sebagai berikut;
1.      Masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam
2.      Pusat pusat pendidikan islam dan tokoh tokohnya
3.      Pengajaran al qur’an




BAB II
PEMBAHASAN
Masa Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam
            Pada masa Nabi Muhammad SAW pendidikan Islam berarti memasukan ajaran Islam ke dalam unsur-unsur budaya bangsa Arab pada masa itu.
Dalam masa pembinaan, ada beberapa kemungkinan yang terjadi, yaitu:
  1. Adakalanya Islam mendatangkan sesuatu unsur yang sifatnya memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada, seperti Al-Qur’an. Pada saat itu unsur budaya sastra Arab diakui mempunyai tingkatan yang tinggi. Pada mulanya mereka memiliki kebanggan untuk membaca dan menghafalkan syair-syair yang indah, maka dengan didatangkannya Al-Qur’an yang yang tidak kalah indahnya,berarti mereka meras unsur budaya mereka diperkaya dan disempurnakan.
  2. Adakalanya Islam mendatangkan sesuatu ajaran yang sifatnya meluruskan kembali nilai-nilai yang ada yang dalam kenyataan praktisnya sudah menyimpang dari ajaran aslinya.contoh dalam hal ini adalah ajaran tauhid.  
  3. Adakalanya islam mendatangkan ajaran yang sifatnya bertentangan sama sekali dengan budaya yang ada sebelumnya. Pembentukan budaya masyarakat yang bersih dari unsur-unsur perbudakan, perjudian, pemabukan dan sebagainya adalah contoh-contoh yang konkrit dalam hal ini.
  4. Budaya yang telah ada dan tidak bertentangan dengan ajaran islam, pada umumnya dibiarkan tetap berlaku dan berkembang dengan mendapatkan pengarahan-pengarahan seperlunya. Pada umumnya kehidupan perekonomian, sarana pemenuhan kebutuhan hidup dan unsur-unsur kebutuhan manusiawi yang telah ada dibiarkan berkembang dengan menjaga agar jangan sampai merugikan, baik kepentingan perorangan, masyarakat maupun perkembangan budaya Islami pada umumnya.
  5. Islam mendatangkan ajaran baru yang belum ada sebelumnya, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan perkembangan budayanya.
Dengan demikian, terbentuklah satu setting nilai dan budaya Islami yang lengkap dan sempurna dalam ruang lingkupnya yang sepadan, baik dari seggi situasi dan kondisi maupun waktu dan perkembagan zamannya. Setting tersebutlah yang diwariskan kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif dalam arti bahwa nilai dan budaya yang ada ditingkatkan kualitasnya sehingga menjadi lebih baik dan lebih sempurna, sedangkan secara kuantitatif, mengarahkan kepada pembentukan ajaran dan budaya baru untuk menambah kesempurnaan dan kesejahteraan hidup manusia. Sumber pengembangan tersebut tidak lain kecuali wahyu Allah yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah.
Pendidikan Islam pada masa pertumbuhan dan perkembangan, juga pada masa-masa berikutnya mempunyai dua sasaran, yaitu:
a.       Generasi muda (sebagai generasi penerus) dan masyarakat bangsa lain yang belum menerima ajaran Islam
b.      Penyampaian ajaran Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang di dalam Islam lazim disebut sebagai dakwah Islami.
Dalam artinya yang pertama, yaitu pewarisan ajaran Islam kepada generasi penerus disebut sebagai pendidikan Islam.
Dengan demikian telah jelas bahwa sasaran pembudayaan Islam bukan hanya mewariskan kepada generasi muda saja, tetapi juga meluaskan jangkauan penetrasi budaya Islami kepada budaya umat, kepada bangsa-bangsa di luar negeri Arab yang sudah dirintis oleh Nabi Muhammad SAW melalui pengiriman utusan-utusan untuk menyampaikan ajakan menerima Islam kepada para raja dan penguasa disekitar Arab dengan tujuan untuk menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat bangsa/suku bangsa agar mereka menerimanya menjadi sistem hidup. Tetapi penguasa di luar Jazirah Arab  memberikan reaksi yang keras, bahkan sampai ada yang membunuh utusan Nabi Muhammad SAW dan ada pula yang bersiap-siap untuk menyerang Madinah.
Untuk menghadapi serangan dari luar tersebut, Nabi Muhammad mengirimkan pasukan yang terdiri dari sejumlah kaum muslimin. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah Islam dengan perang Mu’tah di bawah pimpinan mula-mula Zaid bin Harisah, kemudian oleh Ja’far bin abi Talib, lalu oleh Abdullah bin Rawahah, dan akhirnya oleh Khalid bin Walid. Peristiwa tersebut terjadi di daerah Syam berhadapan dengan pasukan Syurahbil penguasa Heraclius[1]. Setiap pasukan kaum muslimin menguasai suatu daerah segera sebagian sahabat mendapat tugas untuk menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk. Mereka menjadi yang bertindak sebagai pendidik atau guru-guru agama, sehingga timbul pusat-pusat pendidikan Islam di luar Madinah.

Suatu peristiwa penting dalam Sejarah Pendidikan Islam di masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat adalah peristiwa pemberontakan dari orang-orang murtad yang enggan membayar zakat, serta timbulnya nabi-nabi palsu pada awal kekhalifahan Abu Bakar. Para pemberontak tersebut adalah kalangan orang-orang yang baru masuk Islam dan belum mantap keIslamannya. Untuk mengatasi pemberontakan tersebut Abu Bakar mengirimkan pasukan yang terdiri dari para sahabat, yang akhirnya terjadi pertempuran yang cukup hebat, sehingga banyak di antara para sahabat yang mati syahid[2] , yang menyebabkan berkurangnya penghafal-penghafal Al-Qur’an, guru dan pendidik Islam.
            Untuk menjaga agar Al-Qur’an tidak sampai hilang, maka penulisan al-Qur’an yang pada masa Nabi Muhammad SAW masih belum tersusun sesuai dengan hafalan para sahabat, dituliskan kembali dan dijadikan satu mushaf. Para sahabat dikirim keberbagai daerah yang telah dikuasai kaum muslimin, untuk mengajarkan Al-Qur’an dan memasukkan ajaran Islam ke dalam budaya penduduk daerah-daerah baru tersebut.
            Bebarengan dengan pengembangan daerah kekuasaan islam pada masa-masa berikutnya, berkembang pula pusat-pusat kegiatan pendidikan Islam, baik bagi mereka yang baru masuk Islam, bagi para generasi muda (anak-anak), maupun bagi mereka yang akan memperdalam dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam Islam.
  1. Pusat-pusat Pendidikan Islam
Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam, menerangkan bahwa pusat-pusat pendidikan tersebut tersebar di kota-kota besar sebagai berikut:
a)      Di Kota Makkah dan Madinah (Hijaz)
b)      Di Kota Basrah dan Kufah (Irak)
c)      Di Kota Damsyik dan Palestina (Syam)
d)     Di Kota Fistat (Mesir)
Di pusat-pusat pendidikan tersebut, para sahabat memberikan pelajaran agama Islam kepada murid-muridnya, dan di pusat-pusat pendidikan tersebut berdirilah madrasah-madrasah yang masih merupakan tempat memberikan pelajaran dalam bentuk khalaqah di masjid atau tempat pertemuan lainnya.
Di antara madrasah-madrasah yang terkenal pada masa pertumbuhan pendidikan Islam ini adalah:


a.     Madrasah Makkah
Guru pertama yang mengajar di Makkah, ialah Mu’tad bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al-Qur’an, hukum-hukum halaldan haram dalam Islam. Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86 H), Abdullah bin Abbas pergi ke Makkah dan mengajar di sana. Ia mengajarkan Tafsir, Hadis, Fiqh dan Sastra. Abdullah bin Abbas merupakan pembangun madrasah Makkah yang kemudian menjadi termasyhur keseluruh penjuru negeri Islam.
Diantara murid-murid Abdullah bin Abbas yang menggantikannya sebagai guru di madrasah Makkah ini, adalah Mujahid bin Jabbar, seorang Tafsir Al-Qur’an yang meriwayatkannya dari Ibn Abbas, Atak bin Abu Rabah, yang termasyhur keahliannya dalam Ilmu Fiqh, dan Tawus bin Kaisan, seorang fuqoha dan mufti di Makkah. Kemudian diteruskan oleh murid-murid berikutnya, yang terkenal yaitu: Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid Al Zanji. Imam Syafi’i sebelum berguru ke Madinah, pernah belajar di Madrasah Makkah kepadakedua ulama tersebut.

b.     Madrasah Madinah
Madrash ini lebih termasyhur dan lebih dalam ilmunya. Di antara sahabat yang mengajar di madrasah Madinah ini, adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Talib, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Umar. Zaid bin Sabit adalah seorang ahli Qiraat dan Fiqh, dan beliaulah yang mendapatkan tugas memimpin penulisan kembali Al-Qur’an. Sedangkan Abdullah bin Umar adalah seorang ahli hadis. Beliau dianggap sebagai pelopor mazhab Ahl al Hadis yang berkembang pada masa-masa berikutnya.
Setelah ulama-ulama sabahat wafat, digantikan oleh murid-muridnya (tabi’in) yang terkenal, yaitu Sa’ad bin Musyayab dan Urwah bin Al-Zubair bin al-Awwan, yang pada generasi berikutnya kemudian muncul seorang ahli Hadis dan Fiqh: Ibn Syihab Al-Zuhri. Dan dari madrasah mazhab yang termansyur.
c.      Madrasah Basrah
Ulama sahabat yang terkenal di Basrah ini ialah Abu Musa Al-Asy’ari yang terkenal sebagai ahli Fiqh, Hadis, dan ilmu Al-Qur’an, dan Anas bin Malik yang termasyhur dalam Ilmu Hadis.
Di antara guru madrasah Basrah yang terkenal adalah: Hasan Al-Basri dan Ibn Sirin. Hasan Al-Basri, di samping seorang ahli Fiqh, ahli pidato dan kisah, juga terkenal sebagai seorang ahli pikir dan ahli tasawuf. Ia dianggap sebagai perintis mazhab Ahl Al-Sunnah dalam lapangan Ilmu Kalam. Sedangkan Ibn Sirin, adalh seorang ahli Hadis dan Fiqh, yang belajar langsung dari Zaid bin Sabit dan Anas bin Malik.
d.     Madrasah Kufah
Ulama sahabat yang tinggal di Kufah ialah Ali bin Abi Talib, pengurus masalah politik dan urusan pemerintahan, dan Abdullah bin Mas’ud ialah sebagai guru agama. Ibnu Mas’ud adalah seorang ahli tafsir, ahli fiqh dan banyak meriwayatkan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Di antara murid-murid Ibnu Mas’ud yang terkenal yang kemudian menjadi guru di Kufah adalah: Alqamah, Al-Aswad, Masruq, Al-Haris bin Qais dan Amr bin Syurahbil. Madrasah Kufah ini kemudian melahirkan Abu Hanifah, salah seorang imam mazhab yang terkenal, dengan penggunaan ra’yu dalam berijtihad.
e.      Madrasah Damsyik
Setelah negeri Syam (Syria) menjadi negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam, maka Khalifah Umar bin Khattab mengirimkan tiga orang guru agama ke negeri itu, yaitu: Muaz bin Jabal mengajar di Palestina, Ubadah mengajar di Hims dan Abu Dardak mengajar di Damsyik. Kemudian mereka digantikan oleh murid-muridnya (tabi’in) seperti Abu Idris Al-Khailany, Makhul al Dimasyiki, Umar bin Abdul Aziz dan Raja’bin Haiwah. Akhirnya madrasah itu melahirkan imam penduduk Syam, yaitu Abdurrahman Al-Auza’i yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu Hanifah.
f.       Madrasah Fistat (Mesir)
Sahabat pendiri madrasah dan guru di Mesir adalah Abdullah bin Amr bin Al-As. Ia adalah seorang ahli Hadis. Ia tidak hanya menghafal hadis-hadis yang di dengarnya dari Nabi Muhammad SAW melainkan juga menuliskannya dalam catatan, sehingga ia tidak lupa atau khilaf dalam meriwayatkan hadis-hadis itu kepada murid-muridnya. Guru berikutnya yang termasyhur sesudahnya ialah Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan Abdillah bin Abu Ja’far bin Rabi’ah. Di antara murid Yazid yang terkenal adalah Abdullah bin Lahi’ah dan Al-Lais bin Said. Al-Lais bin Said terkenal sebagai ulama yang mempunyai mazhab tersendiri dalam bidang fiqh, sebagaimana Al-Auza’i[3].
Para ulama sahabat mempunyai keahlian ilmiah yang berbeda-beda dan kepribadian yang berlainan. Yang sangat termasyhur di antara mereka itu ialah:
1)      Abdullah bin Umar di Madinah
2)      Abdullah bin Mas’ud di Kufah
3)      Abdullah bin abbas di Makkah
4)      Abdullah bin Amr bin Al-Ash di Mesir
Inilah empat orang Abdullah yang sangat besar sekali jasanya dalam mengerjakan ilmu-ilmu agama kepada murid-muridnya.
Sahabat-sahabat tidak menghafal semua perkataan Nabi Muhammad SAW dan tidak melihat semua perbuataannya. Akibatnya hadis-hadis yang diajarkan oleh ulama di Madinah misalnya, kadang-kadang tidak dikenal oleh ulama di Kufah. Hadis-hadis yang diajarkan oleh guru di Makkah, kadang-kadang tidak dikenal oleh guru di Mesir.
Oleh sebab itu para pelajar tidak mencukupkan belajar pada seorang ulama di negeri tempat tinggalnya, melainkan mereka melawat ke kota yang lain untuk melanjutkan ilmunya. Pelajar Mesir melawat ke Madinah, pelajar Madinah melawat ke Kufah, pelajar Kufah melawatke Syam, pelajar Syam melawat kian kemari dan begitulan seterusnya. Dengan demikian dunia ilmu pengetahuan tersebar ke seluruh kota-kota di negeri Islam[4].
  1. Pengajaran Al-Qur’an
Intisari ajaran Islam adalah apa yang termaktub dalam Al-Qur’an. Sedangkan Hadis ataupun Sunnah Rasulullah merupakan penjelasan dari apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an.
Nabi Muhammad SAW telah dengan sempurna menyampaikan Al-Qur’an kepada para sahabat, dan telah dengan sempurna pula memberikan penjelasan-penjelasan menurut keperluannya pada masa itu. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, sumber pengajaran Al-Qur’an adalah para sahabat. Mereka bertanggung jawab untuk mengajarkan Al-Qur’an memberikan penjelasan dan pengertian yang dikandung oleh Al-Qur’an agar dimengerti oleh orang-orang yang baru masuk Islam dengan memberikan contoh tentang cara mempraktekkan ajaran Al-Qur’an tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Problem pertama yang dihadapi oleh para sahabat dalam pengajaran Al-Qur’an yaitu Al-Qur’an secara lengkap dan sempurna ada dalam hafalan umumnya para sahabat, tetapi tentunya tidak semua sahabat hafal sepenuhnya Al-Qur’an. Di samping itu Al-Qur’an juga masih dalam bentuk tulisan-tulisan yang berserakan, yaitu yang ditulis oleh para sahabat yang pandai menulis atas perintah Nabi Muhammad SAW selama proses penurunan Al-Qur’an.
Atas usulan Umar bin Khattab karena khawatir ayat-ayat Al-Qur’an akan hilang bersama kematian para sahabat penghafal Al-Qur’an yang meninggal dalam peperangan Yamamah, Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai ketua Tim. Zaid bin Tsabit merupakan salah satu sahabat yang menjadi sekretaris Rasul yang ditugaskan untuk menuliskan wahyu Al-Qur’an.
Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, Zaid bin Sabit dibantu oleh beberapa orang sahabat lainnya yang hafal Al-Qur’an, yaitu Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Talib dan Usman bin Affan. Setelah seluruh ayat-ayat Al-Qur’an terkumpul dan disusun menurut susunan dan urutan, kemudian dituliskan kembali dalam lembaran-lembaran yang seragam, dan diikat menjadi satu mushaf.
Pada masa itu pengajaran Al-Qur’an kepada orang yang baru masuk islam  berlangsung secara hafalan, para sabahat juga memberikan penjelasan seperlunya tentang arti dari ayat-ayat tersebut menurut apa yang diterimanya dari Rasulullah SAW dan memberikan contoh pelaksanaan atau praktek ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Problema yang kemudian muncul dalam pengajaran Al-Qur’an, adalah masalah pembacaan (qiraat). Al-Qur’an adalah bacaan dalam bahasa Arab. Jadi, mereka yang tidak berbahasa Arab harus menyesuaikan lidahnya dengan lidah orang Arab. Oleh karena itu, pengajaran Al-Qur’an tersebut selalu dibarengi dengan pengajaran bahasa Arab secara sederhana.
Problema qiraat tersebut semakin nampak setelah terjadi komunikasi antara kaum muslimin dari satu daerah dengan daerah lainnya, yang mendapatkan pelajaran Al-Qur’an dari sahabat-sahabat dengan dialek (lahjah) yang berbeda. Dan Rasulullah pun memperkenalkan hal yang demikian. Tetapi dengan perbedaan lahjah tersebut tentunya akan membingungkan mereka.Merekapun berselisih dalam pembacaan (qiraat) Al-Qur’an dan saling mempertahankan anggapan bahwa bacaan mereka yang benar sedangkan yang lainnya salah.
Sahabat yang mula-mula memperhatikan adanya pertikaian umat Islam dalam hal pembacaan Al-Qur’an tersebut adalah Huzaifah bin Yaman, sewaktu ia ikut dalam pertempuran di Armenia dan Azerbeijan. Setelah kembali ke Madinah, Huzaifah segera menemui Khalifah Usman bin Affan dan mengusulkan agar perselisihan di antara umat Islam segera di atasi.
Akhirnya Khalifah Usman bin Affan meminjam naskah yang disimpan oleh Hafsah binti Umar, untuk ditulis kembali oleh panitia yang sengaja ditunjuknya, yang diketuai oleh Zaid bin sabit dengan anggota: Abdullah bin Zubair bin Ash dan Abdurrahman bin Haris. Dalam menuliskan kembali Al-Qur’an tersebut, Usman menasihatkan untuk:
1)      Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur’an
2)      Apabila ada pertikaian antara mereka tentang bacaan tersebut, maka haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur’an itu diturunkan menurut dialek mereka.
Al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai Al-Mushaf. Kemudian Mushaf tersebut dibuat lima buah Mushaf, yang masing-masing dikirim ke Makkah, Syiria, Basrah dan Kufah, sedangkan yang satu dipegang Khalifah Usman di Madinah. Khalifah Usman memerintahkan agar catatan-catatan yang ada sebelumnya dibakar, supaya umat Islam berpegang kepada mushaf yang lima itu.
Manfaat pembukuan Al-Qur’an di masa Usman adalah:
a)      Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisannya.
b) Menyatukan bacaan, dan kendatipun masih ada perbedaannya,     namun harus tidak berlawanan dengan ejaan Mushaf Usman. Dan bacaan-bacaan yang tidak sesuai tidak diperbolehkan.
b)      Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut sebagai yang kelihatan pada mushaf-mushaf sekarang ini[5].
Sejak itulah pengajaran Al-Qur’an secara berangsur-angsur menjadi satu sebagaimana yang tertulis dalam mushaf, dan selainnya ditetapkan tidaksah dan akhirnya ditinggalkan.
Untuk memudahkan pengajaran Al-Qur’an bagi kaum muslimin yang tidak berbahasa Arab, maka guru Al-Qur’an telah mengusahakan antara lain:
a)      Mengembangkan cara membacaAl-Qur’an dengan baik yang kemudian menimbulkan ilmu Tajwid Al-Qur’an
b)      Meneliti cara pembacaan Al-Qur’an  (qiraat) yang telah berkembang pada masa itu, mana yang sah dan mana yang tidak sah, yang akhirnya menimbulkan adanya Ilmu Qira’at, yang kemudian timbul Qira’at al Sab’ah
c)      Memberikan tanda-tanda baca dalam tulisan mushaf sehingga menjadi mudah dibaca dengan benar bagi mereka yang baru belajar membaca Al-Qur’an.
d)     Memberikan penjelasan tentang maksud dan pengertian yang dikandung oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang diajarkan yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Tafsir. Pada mulanya diajarkan penjelasan-penjelasan ayat Al-Qur’an yaitu berupa hadis-hadis, kemudian berkembang cara-cara penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan akal pikiran dengan berpedoman kepada kaidah-kaidah bahasa Arab.
Oleh karena itu, pengajaran bahasa Arab, dengan kaidah-kaidahnya, selalu menyertai pengajaran Al-Qur’an kepada kaum muslimin non Arab, dengan tujuan agar mereka mudah membaca dan kemudian memahami Al-Qur’an yang mereka pelajari.
 Pengajaran Al-Qur’an pada masa khalifah-khalifah Rosyidin dan Umaiyah adalah dengan pengajaran bertingkat.Tingkat pertama adalah Kuttab,pada tingkat ini anak diajarkan menulis dan membaca/ menghafal Al-Qur’an serta belajar pokok-pokok Agama Islam.Setelah tamat Al-Qur’an mereka meneruskan pelajaran ke masjid.Pelajaran di masjid itu terdiri dari tingkat menengah dan tingkat tinggi.Ilmu-ilmu yang diajarkan pada tingkat menengah dan tertinggi ini terdiri dari :Al-Qur’an dan tafsirnya,hadist dan mengumpulkannya,dan fiqih(tasyri’).  

BAB III
PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Pendidikan Islam pada masa nabi Muhammad SAW berarti memasukan ajaran Islam ke dalam unsur-unsur budaya bangsa Arab pada masa itu.. Pendidikan islam pada masa pertumbuhan dan perkembangan juga pada masa-masa berikutnya mempunyai dua sasaran, yaitu:
A.Generasi muda (sebagai generasi penerus) dan masyarakat bangsa lain yang ajaran Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang di dalam Islam lazim disebut sebagai dakwah I
B.ajaran Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang di dalam Islam lazim disebut sebagai dakwah Islami
Pusat pendidikan islam yang tersebar ada pada masa khalifa-khalifah Rasyidindan Bani umayah
  1. Di Di Kota Makkah dan Madinah (Hijaz)
  2.Di kota Basrah danKuffah
  3.Di kota Damsyik dan Palestina (Syam)
 4.Di kota Fistat (Mesir).
Peristiwa terpenting dalam pengajaran Al-Qur’an pada masa khalifah Abu bakar As-sidiq adalah di kumpulkanya ayat-ayat al-Qur’an dan dituliskan kembali dalam lembaran-lembaran yang seragam dan diikat menjadi satu mushaf oleh Zaid bin Sabit dibantu oleh beberapa orang sahabat lainnya yang hafal Al-Qur’an. Ini semua atas usulan Umar bin Khatab.



















DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Yunus,1990,Sejarah Pendidikan islam,Jakarta:PT.HIDA KARYA AGUNG
Zuhairini,1997,sejarah pendidikan islam,Jakarta;Bumi Aksara









[1]  A. Syalabi, op.cit., hal. 165. Lihat juga: T.M. Hasbi Ash Siddiqy, op.cit., hal. 89/90.

[2]  Mahmud Yunus, op.cit., hal. 29.
[3]  Ibid., hal. 33.
[4]  Ibid., hal. 34.
[5]  T.M. Hasbi Ash Shiddiqy, op.cit., hal. 189.

4 komentar: