Halaman

1/04/2013

makalah aplikasi behaviorisme


BAB I
PENDAHULUAN
    A. Latar belakang
    Teori belajar Behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gege dan berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dan pengalaman.
        Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
    Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur.
    B. Rumusan masalah
 Berdasarkan latar belakang di atas pemakalah ingin sedikit membahas tentang:
 1. Aplikasi Teori Behaviorisme
2. Teori Belajar Aliran Behaviorisme
 3. Penerapan Teori Belajar Pavlov, Thorndike dan Watson dalam Proses Pembelajaran
4. Penerapan Teori Belajar Pavlov, Thorndike dan Watson dalam Proses Pembelajaran
5. Implikasi

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Ciri-ciri dan Tujuan Teori Behaviorisme
Untuk mempermudah mengenal teori belajar behavioristik dapat dipergunakan ciri-cirinya yakni:
    1. mementingkan pengaruh lingkungan (environmentalistis)
    2. mementingkan bagian-bagian (elentaristis)
    3. mementingkan peranan reaksi (respon)
    4. mementingkan mekanisme terbentuknya hasil belajar
    5. mementingkan hubungan sebab akibat pada waktu yang lalu
    6. mementingkan pembentukan kebiasaan.
Selain memiliki enam ciri-ciri di atas teori belajar Behaviorisme juga memiliki tujuan. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
 Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

B.      Aplikasi Teori Behaviorisme
 Aplikasi teori behaviorisme dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media, dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behaviorisme memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur rapi, sehingga belajar adalah pemerolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan kepada siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pengetahuan yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. (Syamsul Huda Rohmadi, 2012 : 39-40)
Dalam pembelajaran yang menganut teori behaviorisme, siswa harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat penting, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar dikategorikan sebagai perilaku yang pantas diberi hadiah. Siswa adalah objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang diluar diri siswa.
 Secara umum, langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Siciati dan Prasetya Irawan (2001) adalah sebagai berikut :
    1. Menentukan tujuan pembelajaran
    2.Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini, termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal siswa
    3. Menentukan materi pelajaran
    4. Menguraikan materi menjadi bagian kecil-kecil
    5. Menyajikan materi pelajaran
    6. Memberikan stimulus
    7. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan siswa
    8. Memberikan penguatan atau hukuman
    9. Memberikan stimulus baru
    10. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan siswa
    11. Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman, dan seterusnya
    12. Evaluasi hasil belajar
    (Syamsul Huda Rohmadi, 2012 : 39-40)
C.  Teori Belajar Aliran Behaviorisme
    a. Pengkondisian klasik (classical conditioning)
 Pengkondisian klasik adalah tipe pembelajaran dimana suatu organisme belajar untuk mengaitkan atau mengasosiasikan stimuli. Dalam pengkondisian klasik, stimulus netral (seperti melihat seseorang) diasosiasikan dengan stimulus yang bermakna (seperti makanan) dan menimbulkan kapasitas untuk mengeluarkan respon yang sama. Tokoh aliran ini yaitu Ivan Pavlov dan John B. Watson. (John W. Santrock, 2008:268)
 Ada tiga fenomena umum dalam Pengkondisian Klasik, yaitu :
    1. Generalisasi, yaitu stimulus lain yang analog dengan stimulus terkondisi yang akan menghasilkan respon yang sama. Dalam teori perilaku, generalisasi adalah alat utama dimana pembelajaran mentransfer apa yang telah mereka pelajari dalam satu situasi ke situasi yang baru.
    Contoh : murid dimarahi karena ujian biologinya buruk, saat murid itu mulai bersiap untuk ujian kimia, dia juga menjadi gugup karena dua mata pelajaran itu saling berkaitan. Jadi, murid itu menggeneralisasikan satu ujian mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya.
    2. Diskriminasi, yaitu stimulus lain yang tidak ada hubungannya dengan stimulus terkondisi tidak akan direspon.
    Contoh : cemas pada ujian hafalan Al-Qur’an tidak akan berpengaruh pada ujian psikologi pendidikan
    3. Pelenyapan (Extinction), yaitu hilangnya respon terkondisi karena tidak adanya penguatan stimulus bermakna.
 Contoh : ketika pelajaran Matematika tidak lagi dihubungkan dengan kegagalan, atau ketika guru tidak pernah lagi diasosiasikan dengan penghinaan, respon terkondisi akan berkurang dan pada akhirnya menghilang. Dengan kata lain, ekstinksi telah terjadi. (Jeanne Ellis Ormrod, 2008: 430)
    Pengkondisian Klasik Ivan Pavlov
            Untuk memahami teori pengkondisian Ivan Pavlov, kita harus memahami dua tipe stimuli dan dua tipe respons, yaitu: Unconditioned Stimulus (US), Unconditioned Respons (UR), Conditioned Stimuluis (CS), Conditioned Respons (CR). Dalam percobaan Pavlov, seekor anjing akan berliur jika mencium bau daging. Bau daging merupakan stimulus yang tak terkondisi, sementara liur merupakan respons (refleks) yang juga tak terkondisi. Kemudian daging ditambah dengan cahaya lampu dan digunakan sebagai stimulus. Setelah pengulangan beberapa kali, diperoleh hasil bahwa anjing tidak akan berliur hanya oleh cahaya lampu tanpa ada daging (proses asosiasi). Dengan demikian cahaya lampu menjadi stimulus yang terkondisi dan liur menjadi respons yang terkondisi. Dan hasil percobaan mengatakan bahwa gerakan refleks itu dapat dipelajari dan dapat berubah karena mendapat latihan, sehingga dapat dibedakan dua macam refleks, yaitu refleks bersyarat/refleks yang dipelajari, yaitu keluarnya air liur karena menerima/bereaksi terhadap warna sinar tertentu, atau terhadap suatu bunyi tertentu. (Djalali, 2011: 85)
 Dari teori pengkondisian klasik yang dilakukan oleh Ivan Pavlov, kita dapat mengaplikasikan teori tersebut ke dalam pembelajaran. Pengkondisian klasik dapat berupa pengalaman positif dan negatif. Pengkondisian klasik berupa pengalaman positif, misalnya di antara hal-hal di sekolah anak yang menghasilkan kesenangan karena telah dikondisikan secara klasik adalah lagu favorit, perasaan bahwa kelas adalah tempat yang aman dan menyenangkan, dan kehangatan dan perhatian guru, lagu bisa jadi merupakan hal netral bagi murid sebelum murid bergabung dengan murid lain untuk menyanyikannya dengan diiringi oleh perasaan yang positif. Sedangkan Pengkondisian klasik berupa pengalaman negatif, misalnya anak gagal dalam ujian dan ditegur, dan ini menghasilkan kegelisahan; setelah itu, anak mengasosiasikan ujian dengan kecemasan, sehingga menjadi stimulus terkondisi untuk kecemasan.


            Pengkondisian Klasik John B. Watson
Teori behaviorisme atau teori perilaku dari Watson sangat dipengaruhi oleh teori Pavlov maupun Thorndike yang menjadi landasan utamanya.
Menurut Watson, stimulus dan respons yang menjadi konsep dasar dalam teori perilaku pada umumnya, haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable). Dengan demikian, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar, karena dianggap terlalu kompleks untuk diketahui. Watson menyatakan bahwa semua perubahan mental yang mungkin terjadi dalam benak siswa adalah penting, namun hal itu tidak dapat menjelaskan apakah perubahan tersebut terjadi karena proses belajar atau proses pematangan semata. Hanya dengan tingkah laku yang dapat diamati maka perubahan yang bakal terjadi pada seseorang sebagai hasil proses belajar dapat diramalkan. (Udin S. Winataputra, dkk. 2009: 2.11)
 Interaksi antara stimulus dan respons terhadap berbagai situasi-proses pengkondisian-menurut Watson merupakan proses pengembangan kepribadian seseorang. Pernyataan Watson tersebut dilandaskan kepada penelitian yang dilakukannya terhadap sejumlah bayi. Watson mengemukakan bahwa pada dasarnya bayi yang baru dilahirkan hanya memiliki tiga jenis respons emosional, yaitu takut, marah, dan sayang. Kehidupan emosi manusia dewasa yang sangat kompleks, menurut Watson, merupakan hasil pengkondisian dari tiga jenis respons emosional dasar tersebut terhadap situasi yang bervariasi. Walaupun cukup kompleks, namun hasil proses pengkondisian tersebut tetap dapat diukur sehingga, sekali lagi hasil proses belajar dapat diramalkan.
    b. Pengkondisian Operan / instrumental (operan conditioning)
            Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalm operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning. (Ratna Yudhawati & Dany Haryanto, 2011: 43)
    Pengkondisian Operan Thorndike
Pada saat yang hampir sama dengan dilakukannya sebuah eksperimen pengkondisian klasik anjing oleh Ivan Pavlov, E.L Thorndike (1906) sedang mempelajari kucing dalam kotak. Penelitian-penelitian Thorndike pada dasarnya dirancang untuk mengetahui apakah binatang mampu memecahkan masalah dengan menggunakan “reasoning” atau akal, dan atau dengan mengkombinasikan beberapa proses berpikir dasar. Thorndike mengemukakan tiga dalil tentang belajar, yaitu “law of effect” (dalil sebab akibat), “law of exercise” (dalil latihan/pembiasaan), dan “law of readiness” (dalil kesiapan).
            Dari sekian banyak penelitian yang dilakukannya, Thorndike lalu menyimpulkan tentang pengaruh proses belajar tertentu terhadap proses belajar berikutnya, yang dikenal dengan proses “transfer of learning” atau perampatan proses belajar. Thorndike mengemukakan bahwa latihan yang dilakukan dan proses belajar yang terjadi dalam mempelajari suatu konsep akan membantu penguasaan atau proses belajar seseorang terhadap konsep lain yang sejenis atau mirip. Teori Connectionism dari Thorndike ini dikenal sebagai teori belajar yang pertama.
    Pengkondisian Operan Skinner
Pengkondisian operan, di mana konsekuensi perilaku akan menyebabkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan terjadi, merupakan inti dari behaviorisme Skinner (1938). Dalam teori skinner digunakan istilah penguatan (reinforcement) yang berarti segala konsekuensi yang mengikuti pemunculan suatu perilaku. Konsekuensi yang menyenangkan pada umumnya disebut reinforser, sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman (Abdurrachman Abror, 1993:20). Konsekuensi ini memperkuat kemungkinan munculnya perilaku yang diharapkan. Misalnya, jika seorang siswa dapat mengerjakan soal sebagai akibat menghafal materi maka siswa akan berusaha untuk selalu menghafal materi. (frekuensi menghafal materi akan meningkat)
Kesimpulan yang diperoleh skinner setelah melakukan serangkaian percobaannya ialah :
    1. Setiap langkah dalam proses belajar perlu dibuat pendek-pendek (bertahap) berdasarkan tingkah laku yang pernah dipelajari sebelumnya.
    2. Untuk setiap langkah yang pendek tersebut disediakan penguatan yang dikontrol dengan hati-hati.
    3. Penguatan harus diberikan sesegera mungkin setelah respons yang benar dimunculkan.
    4. Stimulus diskriminatif perlu dirancang sedemikian rupa agar dapat diperoleh perampatan stimulus dan peningkatan keberhasilan belajar.
    (Udin S. Winataputra, 2009:2.27)
D.    Penerapan Teori Belajar Pavlov, Thorndike dan Watson dalam Proses Pembelajaran
Teori belajar Classical Conditioning dari Pavlov, Connectionism dari Thorndike, dan Behaviorism dari Watson merupakan teori-teori dasar dari aliran perilaku dengan premis dasar yang relatif sama. Teori-teori ini di kemudian hari dikembangkan dan atau dimodifikasi oleh berbagai ahli menjadi beragam teori-teori baru dalam aliran perilaku, yang kemudian disebut aliran perilaku baru (neo-behaviorism). Sebelum kita membicarakan teori-teori belajar yang tergabung dalam aliran neo-behaviorisme, marilah kita simak kemungkinan penerapan teori-teori belajar Pavlov, Thorndike, dan Watson dalam proses pembelajaran.
            Konsep stimulus (Pavlov, Thorndike, Watson) diterapkan dalam proses pembelajaran dalam bentuk penjelasan tentang tujuan, ruang lingkup, dan relevansi pembelajaran, dan dalam bentuk penyajian materi. Sementara itu, konsep respons (Pavlov, Thorndike, Watson) diterapkan dalam bentuk jawaban siswa terhadap soal-soal tes dan atau ujian setelah materi disajikan, atau hasil karya siswa setelah prosedur pembuatan karya disampaikan. Proses pengkondisian atau interaksi antara stimulus dan respons (Pavlov) diterapkan dalam bentuk pemunculan stimulus yang bervariasi, baik stimulus tunggal, ganda, maupun kombinasi stimulus (parampatan dan atau diskriminasi stimulus-Pavlov). Misalnya, penyajian materi melalui uraian (ceramah) dan contoh, diskusi, penemuan kembali, kerja laboratorium, permainan dengan menggunakan media tunggal maupun beragam media (papan tulis, OHT, video, komputer, dan lain-lain). Hasil penelitian di dunia pembelajaran menyatakan bahwa penggunaan media yang beragam (dua atau lebih) secara variatif mengahasilkan dampak positif yang lebih tinggi dalam proses pembelajaran daripada media tunggal secara terus menerus (Chisholm & Elly, 1976). Selain itu, proses pengkondisian juga melibatkan konsep penguatan (Thorndike) yang diterapkan dalam bentuk pujian dan atau hukuman guru terhadap siswa serta penilaian guru terhadap hasil kerja siswa. Kreativitas guru dalam memanipulasi (Watson) proses pengkondisian ini membantu siswa seacara positif dalam proses pembelajaran. (Udin S. Winataputra, dkk. 2009: 2.12)
Dalam proses pengkondisian, berlaku tiga dalil tentang belajar, yaitu dalil sebab akibat, dalil latihan/pembiasaan, dan dalil kesiapan (Thorndike). Jika respons siswa terhadap stimulus yang diberikan guru (materi, contoh, gambar, dan lain-lain) menghasilkan rasa yang menyenangkan (dipuji, diminta membantu teman, nilai bagus, jawaban benar, dan lain-lain) bagi siswa, maka siswa cenderung untuk mengulang melakukan hal yang sama. Namun, jika respons siswa terhadap stimulus yang diberikan menghasilkan rasa tidak senang bagi siswa (nilai jelek, dimarahi, ditertawakan, dan lain-lain) maka siswa cenderung untuk tidak mengulang kelakuan yang sama. Di samping itu, respons yang benar akan semakin banyak dimunculkan jika siswa memperoleh latihan yang berulang-ulang (drill & practice). Dengan demikian, dalam setiap proses pembelajaran, latihan menjadi komponen utama yang harus dirancang dan dilaksanakan. Penyajian materi saja (dengan contoh, gambar, media, melalui beragam metode) sama sekali tidak menjamin pemunculan respons yang diharapkan jika tidak ada komponen latihannya dalam suatu proses pembelajaran. Hal ini tentunya mengingatkan kita bahwa latihan bagi siwa menjadi penting nilanya dalam suatu proses pembelajaran.
 Dengan demikian, guru tidak diharapkan terlalu banyak menggunakan waktu untuk berceramah menyajikan materi, namun lebih baik banyak menggunakan waktunya untuk siswa berlatih. Proses pembelajaran akan dapat berjalan dan respons yang benar akan dapat diharapkan kemunculannya jika terjadi dalam situasi belajar yang menyenangkan bagi siswa. Situasi belajar yang menyenangkan dalam hal ini diterjemahkan sebagai situasi yang tidak menyakitkan siswa secara fisik maupun mental. Situasi dimana perhatian siswa terfokus pada pembelajaran yang akan berlangsung dan situasi ketika siswa merasa siap untuk mengikuti pembelajaran. Sebaliknya, proses pembelajaran tidak akan dapat berjalan dan respons yang benar tidak akan dapat dimunculkan dalm situasi belajar yang tidak menyenangkan siswa, misalnya pada saat perhatian siswa terbagi (tidak fokus), dalam kelas yang panas, pada saat siswa baru saja sakit atau dimarahi orang tuanya, atau pada saat siswa tidak merasa siap untuk belajar.
            Proses pembelajaran juga akan berjalan dengan baik jika ada dorongan atau kebutuhan yang jelas dari pihak guru maupun siswa. Hal ini dioperasionalkan dalm bentuk tujuan intruksional atau tujuan pembelajaran (umum maupun khusus), yang harus dapat diukur sehingga perubahan perilaku siswa dapat jelas terlihat sebagai akibat dari proses pembelajaran (Watson). Dalam perencanaan pembelajaran, guru menuliskan tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran yang umum maupun yang khusus. Agar dapat diukur dan bersifat operasional, penulisan tujuan pembelajaran selalu menggunakan kata kerja operasional yang dapat diukur. Hal ini merupakan bentuk penerapan konsep “observable behaviour” (Watson). (Muhibbin Syah, 2006: 105)
Respons yang diharapkan dimunculkan siswa sebagai hasil belajar haruslah sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dengan demikian, jelaslah dapat terlihat apa-apa yang akan dicapai dari suatu proses pembelajaran, atau dengan kata lain, respons siswa sudah dapat diramalkan hanya dengan membaca atau melihat tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Perbedaan antara hasil belajar yang dicapai siswa dengan tujuan yang telah ditetapkan menunjukkan tingkat keberhasilan suatu proses pembelajaran.

E.      Implikasi
Secara teoritis pemunculan teori belajar behaviorisme akan melahirkan suatu pandangan yang melihat manusia sebagai makhluk yang sederhana dan bersifat seragam. Sedangkan secara praktis implikasi teori belajar behaviorisme terlihat dengan semakin banyaknya upaya-upaya membuat perencanaan pengajaran terutama dalam aspek ketrampilan, serta menjadikan kecakapan-kecakapan tertentu lebih bersifat operasional. Beberapa di antaranya adalah dalam bentuk strategi pembelajaran seperti maju berkelanjutan. Secara negatif teori belajar behaviorisme berimplikasi pada pengabaian terhadap keunikan potensi dan bakat manusia yang bersifat individual. Secara teoritis pemunculan teori belajar behaviorisme akan melahirkan suatu pandangan yang melihat manusia sebagai makhluk yang sederhana dan bersifat seragam. (Imam Malik, 2011: 263)







BAB III
 PENUTUP
A.    Kesimpulan
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori behviorisme dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
            Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.









DAFTAR PUSTAKA
    Udin S. Winataputra, dkk. 2009. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.
    John W. Santrock. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
    Imam Malik. 2011. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Teras.
    Jeanne Ellis Ormrod. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi 6. Jakarta: Erlangga.
    Djalali. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
    Ratna Yudhawati & Dany Haryanto. 2011. Teori-teori Dasar Psikologi Pendidikan. Jakarta: Prestasi Pustaka.
    Abdurrachman Abror. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
    Muhibbin Syah. 2006. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar