BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Teori belajar
Behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gege dan berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dan pengalaman.
Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan
metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat
bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Menurut teori
behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan
respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan
perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah
input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa
saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses
yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus
dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa
yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang
di atas pemakalah ingin sedikit membahas tentang:
1. Aplikasi Teori
Behaviorisme
2. Teori Belajar Aliran Behaviorisme
3. Penerapan Teori Belajar
Pavlov, Thorndike dan Watson dalam Proses Pembelajaran
4. Penerapan Teori Belajar Pavlov, Thorndike dan Watson dalam
Proses Pembelajaran
5. Implikasi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ciri-ciri dan Tujuan Teori
Behaviorisme
Untuk mempermudah mengenal teori belajar behavioristik dapat
dipergunakan ciri-cirinya yakni:
1. mementingkan pengaruh
lingkungan (environmentalistis)
2. mementingkan
bagian-bagian (elentaristis)
3. mementingkan peranan
reaksi (respon)
4. mementingkan mekanisme
terbentuknya hasil belajar
5. mementingkan hubungan
sebab akibat pada waktu yang lalu
6. mementingkan
pembentukan kebiasaan.
Selain memiliki enam ciri-ciri di atas teori belajar Behaviorisme
juga memiliki tujuan. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik
ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas
“mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang
sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau
materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi
fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti
urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan
evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada
respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and
pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila
pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi
belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan
biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan
evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
B.
Aplikasi Teori Behaviorisme
Aplikasi teori behaviorisme
dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti tujuan
pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media, dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan
berpijak pada teori behaviorisme memandang bahwa pengetahuan adalah objektif,
pasti, tetap dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur rapi, sehingga
belajar adalah pemerolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan kepada siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pengetahuan yang sama
terhadap pengetahuan yang diajarkan. (Syamsul Huda Rohmadi, 2012 : 39-40)
Dalam pembelajaran yang menganut teori behaviorisme, siswa harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dahulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat penting, sehingga pembelajaran
lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan
keberhasilan belajar dikategorikan sebagai perilaku yang pantas diberi hadiah.
Siswa adalah objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga
kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang diluar diri siswa.
Secara umum, langkah-langkah
pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Siciati dan Prasetya Irawan (2001) adalah sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan
pembelajaran
2.Menganalisis lingkungan
kelas yang ada saat ini, termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal siswa
3. Menentukan materi
pelajaran
4. Menguraikan materi
menjadi bagian kecil-kecil
5. Menyajikan materi
pelajaran
6. Memberikan stimulus
7. Mengamati dan mengkaji
respon yang diberikan siswa
8. Memberikan penguatan
atau hukuman
9. Memberikan stimulus
baru
10. Mengamati dan
mengkaji respon yang diberikan siswa
11. Memberikan penguatan
lanjutan atau hukuman, dan seterusnya
12. Evaluasi hasil
belajar
(Syamsul Huda Rohmadi,
2012 : 39-40)
C. Teori Belajar Aliran
Behaviorisme
a. Pengkondisian klasik
(classical conditioning)
Pengkondisian klasik adalah
tipe pembelajaran dimana suatu organisme belajar untuk mengaitkan atau
mengasosiasikan stimuli. Dalam pengkondisian klasik, stimulus netral (seperti
melihat seseorang) diasosiasikan dengan stimulus yang bermakna (seperti
makanan) dan menimbulkan kapasitas untuk mengeluarkan respon yang sama. Tokoh
aliran ini yaitu Ivan Pavlov dan John B. Watson. (John W. Santrock, 2008:268)
Ada tiga fenomena umum dalam
Pengkondisian Klasik, yaitu :
1. Generalisasi, yaitu
stimulus lain yang analog dengan stimulus terkondisi yang akan menghasilkan
respon yang sama. Dalam teori perilaku, generalisasi adalah alat utama dimana
pembelajaran mentransfer apa yang telah mereka pelajari dalam satu situasi ke
situasi yang baru.
Contoh : murid dimarahi
karena ujian biologinya buruk, saat murid itu mulai bersiap untuk ujian kimia,
dia juga menjadi gugup karena dua mata pelajaran itu saling berkaitan. Jadi,
murid itu menggeneralisasikan satu ujian mata pelajaran dengan mata pelajaran
lainnya.
2. Diskriminasi, yaitu
stimulus lain yang tidak ada hubungannya dengan stimulus terkondisi tidak akan
direspon.
Contoh : cemas pada ujian
hafalan Al-Qur’an tidak akan berpengaruh pada ujian psikologi pendidikan
3. Pelenyapan
(Extinction), yaitu hilangnya respon terkondisi karena tidak adanya penguatan
stimulus bermakna.
Contoh : ketika pelajaran
Matematika tidak lagi dihubungkan dengan kegagalan, atau ketika guru tidak
pernah lagi diasosiasikan dengan penghinaan, respon terkondisi akan berkurang
dan pada akhirnya menghilang. Dengan kata lain, ekstinksi telah terjadi.
(Jeanne Ellis Ormrod, 2008: 430)
Pengkondisian Klasik Ivan
Pavlov
Untuk memahami teori pengkondisian Ivan Pavlov, kita harus
memahami dua tipe stimuli dan dua tipe respons, yaitu: Unconditioned Stimulus
(US), Unconditioned Respons (UR), Conditioned Stimuluis (CS), Conditioned
Respons (CR). Dalam percobaan Pavlov, seekor anjing akan berliur jika mencium
bau daging. Bau daging merupakan stimulus yang tak terkondisi, sementara liur
merupakan respons (refleks) yang juga tak terkondisi. Kemudian daging ditambah
dengan cahaya lampu dan digunakan sebagai stimulus. Setelah pengulangan
beberapa kali, diperoleh hasil bahwa anjing tidak akan berliur hanya oleh
cahaya lampu tanpa ada daging (proses asosiasi). Dengan demikian cahaya lampu
menjadi stimulus yang terkondisi dan liur menjadi respons yang terkondisi. Dan
hasil percobaan mengatakan bahwa gerakan refleks itu dapat dipelajari dan dapat
berubah karena mendapat latihan, sehingga dapat dibedakan dua macam refleks,
yaitu refleks bersyarat/refleks yang dipelajari, yaitu keluarnya air liur
karena menerima/bereaksi terhadap warna sinar tertentu, atau terhadap suatu
bunyi tertentu. (Djalali, 2011: 85)
Dari teori pengkondisian
klasik yang dilakukan oleh Ivan Pavlov, kita dapat mengaplikasikan teori
tersebut ke dalam pembelajaran. Pengkondisian klasik dapat berupa pengalaman
positif dan negatif. Pengkondisian klasik berupa pengalaman positif, misalnya
di antara hal-hal di sekolah anak yang menghasilkan kesenangan karena telah
dikondisikan secara klasik adalah lagu favorit, perasaan bahwa kelas adalah
tempat yang aman dan menyenangkan, dan kehangatan dan perhatian guru, lagu bisa
jadi merupakan hal netral bagi murid sebelum murid bergabung dengan murid lain
untuk menyanyikannya dengan diiringi oleh perasaan yang positif. Sedangkan
Pengkondisian klasik berupa pengalaman negatif, misalnya anak gagal dalam ujian
dan ditegur, dan ini menghasilkan kegelisahan; setelah itu, anak
mengasosiasikan ujian dengan kecemasan, sehingga menjadi stimulus terkondisi
untuk kecemasan.
Pengkondisian Klasik John B. Watson
Teori behaviorisme atau teori perilaku dari Watson sangat dipengaruhi
oleh teori Pavlov maupun Thorndike yang menjadi landasan utamanya.
Menurut Watson, stimulus dan respons yang menjadi konsep dasar
dalam teori perilaku pada umumnya, haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat
diamati (observable). Dengan demikian, Watson mengabaikan berbagai perubahan
mental yang mungkin terjadi dalam belajar, karena dianggap terlalu kompleks
untuk diketahui. Watson menyatakan bahwa semua perubahan mental yang mungkin
terjadi dalam benak siswa adalah penting, namun hal itu tidak dapat menjelaskan
apakah perubahan tersebut terjadi karena proses belajar atau proses pematangan
semata. Hanya dengan tingkah laku yang dapat diamati maka perubahan yang bakal
terjadi pada seseorang sebagai hasil proses belajar dapat diramalkan. (Udin S.
Winataputra, dkk. 2009: 2.11)
Interaksi antara stimulus
dan respons terhadap berbagai situasi-proses pengkondisian-menurut Watson
merupakan proses pengembangan kepribadian seseorang. Pernyataan Watson tersebut
dilandaskan kepada penelitian yang dilakukannya terhadap sejumlah bayi. Watson
mengemukakan bahwa pada dasarnya bayi yang baru dilahirkan hanya memiliki tiga
jenis respons emosional, yaitu takut, marah, dan sayang. Kehidupan emosi
manusia dewasa yang sangat kompleks, menurut Watson, merupakan hasil pengkondisian
dari tiga jenis respons emosional dasar tersebut terhadap situasi yang
bervariasi. Walaupun cukup kompleks, namun hasil proses pengkondisian tersebut
tetap dapat diukur sehingga, sekali lagi hasil proses belajar dapat diramalkan.
b. Pengkondisian Operan /
instrumental (operan conditioning)
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap
lingkungan. Respons dalm operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh
stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu
sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya
sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan
stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning. (Ratna Yudhawati &
Dany Haryanto, 2011: 43)
Pengkondisian Operan
Thorndike
Pada saat yang hampir sama dengan dilakukannya sebuah eksperimen
pengkondisian klasik anjing oleh Ivan Pavlov, E.L Thorndike (1906) sedang mempelajari
kucing dalam kotak. Penelitian-penelitian Thorndike pada dasarnya dirancang
untuk mengetahui apakah binatang mampu memecahkan masalah dengan menggunakan
“reasoning” atau akal, dan atau dengan mengkombinasikan beberapa proses
berpikir dasar. Thorndike mengemukakan tiga dalil tentang belajar, yaitu “law
of effect” (dalil sebab akibat), “law of exercise” (dalil latihan/pembiasaan),
dan “law of readiness” (dalil kesiapan).
Dari sekian banyak penelitian yang dilakukannya, Thorndike
lalu menyimpulkan tentang pengaruh proses belajar tertentu terhadap proses
belajar berikutnya, yang dikenal dengan proses “transfer of learning” atau
perampatan proses belajar. Thorndike mengemukakan bahwa latihan yang dilakukan
dan proses belajar yang terjadi dalam mempelajari suatu konsep akan membantu
penguasaan atau proses belajar seseorang terhadap konsep lain yang sejenis atau
mirip. Teori Connectionism dari Thorndike ini dikenal sebagai teori belajar
yang pertama.
Pengkondisian Operan
Skinner
Pengkondisian operan, di mana konsekuensi perilaku akan menyebabkan
perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan terjadi, merupakan inti dari
behaviorisme Skinner (1938). Dalam teori skinner digunakan istilah penguatan
(reinforcement) yang berarti segala konsekuensi yang mengikuti pemunculan suatu
perilaku. Konsekuensi yang menyenangkan pada umumnya disebut reinforser,
sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman (Abdurrachman
Abror, 1993:20). Konsekuensi ini memperkuat kemungkinan munculnya perilaku yang
diharapkan. Misalnya, jika seorang siswa dapat mengerjakan soal sebagai akibat
menghafal materi maka siswa akan berusaha untuk selalu menghafal materi.
(frekuensi menghafal materi akan meningkat)
Kesimpulan yang diperoleh skinner setelah melakukan serangkaian
percobaannya ialah :
1. Setiap langkah dalam
proses belajar perlu dibuat pendek-pendek (bertahap) berdasarkan tingkah laku
yang pernah dipelajari sebelumnya.
2. Untuk setiap langkah
yang pendek tersebut disediakan penguatan yang dikontrol dengan hati-hati.
3. Penguatan harus
diberikan sesegera mungkin setelah respons yang benar dimunculkan.
4. Stimulus diskriminatif
perlu dirancang sedemikian rupa agar dapat diperoleh perampatan stimulus dan
peningkatan keberhasilan belajar.
(Udin S. Winataputra,
2009:2.27)
D.
Penerapan Teori Belajar Pavlov, Thorndike dan Watson dalam Proses
Pembelajaran
Teori belajar Classical Conditioning dari Pavlov, Connectionism
dari Thorndike, dan Behaviorism dari Watson merupakan teori-teori dasar dari
aliran perilaku dengan premis dasar yang relatif sama. Teori-teori ini di
kemudian hari dikembangkan dan atau dimodifikasi oleh berbagai ahli menjadi
beragam teori-teori baru dalam aliran perilaku, yang kemudian disebut aliran
perilaku baru (neo-behaviorism). Sebelum kita membicarakan teori-teori belajar
yang tergabung dalam aliran neo-behaviorisme, marilah kita simak kemungkinan
penerapan teori-teori belajar Pavlov, Thorndike, dan Watson dalam proses
pembelajaran.
Konsep stimulus (Pavlov, Thorndike, Watson) diterapkan
dalam proses pembelajaran dalam bentuk penjelasan tentang tujuan, ruang
lingkup, dan relevansi pembelajaran, dan dalam bentuk penyajian materi.
Sementara itu, konsep respons (Pavlov, Thorndike, Watson) diterapkan dalam
bentuk jawaban siswa terhadap soal-soal tes dan atau ujian setelah materi
disajikan, atau hasil karya siswa setelah prosedur pembuatan karya disampaikan.
Proses pengkondisian atau interaksi antara stimulus dan respons (Pavlov)
diterapkan dalam bentuk pemunculan stimulus yang bervariasi, baik stimulus
tunggal, ganda, maupun kombinasi stimulus (parampatan dan atau diskriminasi
stimulus-Pavlov). Misalnya, penyajian materi melalui uraian (ceramah) dan
contoh, diskusi, penemuan kembali, kerja laboratorium, permainan dengan
menggunakan media tunggal maupun beragam media (papan tulis, OHT, video,
komputer, dan lain-lain). Hasil penelitian di dunia pembelajaran menyatakan
bahwa penggunaan media yang beragam (dua atau lebih) secara variatif
mengahasilkan dampak positif yang lebih tinggi dalam proses pembelajaran
daripada media tunggal secara terus menerus (Chisholm & Elly, 1976). Selain
itu, proses pengkondisian juga melibatkan konsep penguatan (Thorndike) yang
diterapkan dalam bentuk pujian dan atau hukuman guru terhadap siswa serta
penilaian guru terhadap hasil kerja siswa. Kreativitas guru dalam memanipulasi
(Watson) proses pengkondisian ini membantu siswa seacara positif dalam proses
pembelajaran. (Udin S. Winataputra, dkk. 2009: 2.12)
Dalam proses pengkondisian, berlaku tiga dalil tentang belajar, yaitu
dalil sebab akibat, dalil latihan/pembiasaan, dan dalil kesiapan (Thorndike).
Jika respons siswa terhadap stimulus yang diberikan guru (materi, contoh,
gambar, dan lain-lain) menghasilkan rasa yang menyenangkan (dipuji, diminta
membantu teman, nilai bagus, jawaban benar, dan lain-lain) bagi siswa, maka
siswa cenderung untuk mengulang melakukan hal yang sama. Namun, jika respons
siswa terhadap stimulus yang diberikan menghasilkan rasa tidak senang bagi
siswa (nilai jelek, dimarahi, ditertawakan, dan lain-lain) maka siswa cenderung
untuk tidak mengulang kelakuan yang sama. Di samping itu, respons yang benar
akan semakin banyak dimunculkan jika siswa memperoleh latihan yang
berulang-ulang (drill & practice). Dengan demikian, dalam setiap proses
pembelajaran, latihan menjadi komponen utama yang harus dirancang dan
dilaksanakan. Penyajian materi saja (dengan contoh, gambar, media, melalui
beragam metode) sama sekali tidak menjamin pemunculan respons yang diharapkan
jika tidak ada komponen latihannya dalam suatu proses pembelajaran. Hal ini
tentunya mengingatkan kita bahwa latihan bagi siwa menjadi penting nilanya
dalam suatu proses pembelajaran.
Dengan demikian, guru tidak
diharapkan terlalu banyak menggunakan waktu untuk berceramah menyajikan materi,
namun lebih baik banyak menggunakan waktunya untuk siswa berlatih. Proses
pembelajaran akan dapat berjalan dan respons yang benar akan dapat diharapkan
kemunculannya jika terjadi dalam situasi belajar yang menyenangkan bagi siswa.
Situasi belajar yang menyenangkan dalam hal ini diterjemahkan sebagai situasi
yang tidak menyakitkan siswa secara fisik maupun mental. Situasi dimana
perhatian siswa terfokus pada pembelajaran yang akan berlangsung dan situasi
ketika siswa merasa siap untuk mengikuti pembelajaran. Sebaliknya, proses
pembelajaran tidak akan dapat berjalan dan respons yang benar tidak akan dapat
dimunculkan dalm situasi belajar yang tidak menyenangkan siswa, misalnya pada
saat perhatian siswa terbagi (tidak fokus), dalam kelas yang panas, pada saat
siswa baru saja sakit atau dimarahi orang tuanya, atau pada saat siswa tidak
merasa siap untuk belajar.
Proses pembelajaran juga akan berjalan dengan baik jika
ada dorongan atau kebutuhan yang jelas dari pihak guru maupun siswa. Hal ini
dioperasionalkan dalm bentuk tujuan intruksional atau tujuan pembelajaran (umum
maupun khusus), yang harus dapat diukur sehingga perubahan perilaku siswa dapat
jelas terlihat sebagai akibat dari proses pembelajaran (Watson). Dalam
perencanaan pembelajaran, guru menuliskan tujuan instruksional atau tujuan
pembelajaran yang umum maupun yang khusus. Agar dapat diukur dan bersifat
operasional, penulisan tujuan pembelajaran selalu menggunakan kata kerja
operasional yang dapat diukur. Hal ini merupakan bentuk penerapan konsep
“observable behaviour” (Watson). (Muhibbin Syah, 2006: 105)
Respons yang diharapkan dimunculkan siswa sebagai hasil belajar
haruslah sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dengan
demikian, jelaslah dapat terlihat apa-apa yang akan dicapai dari suatu proses
pembelajaran, atau dengan kata lain, respons siswa sudah dapat diramalkan hanya
dengan membaca atau melihat tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Perbedaan
antara hasil belajar yang dicapai siswa dengan tujuan yang telah ditetapkan
menunjukkan tingkat keberhasilan suatu proses pembelajaran.
E.
Implikasi
Secara teoritis pemunculan teori belajar behaviorisme akan
melahirkan suatu pandangan yang melihat manusia sebagai makhluk yang sederhana
dan bersifat seragam. Sedangkan secara praktis implikasi teori belajar
behaviorisme terlihat dengan semakin banyaknya upaya-upaya membuat perencanaan
pengajaran terutama dalam aspek ketrampilan, serta menjadikan
kecakapan-kecakapan tertentu lebih bersifat operasional. Beberapa di antaranya
adalah dalam bentuk strategi pembelajaran seperti maju berkelanjutan. Secara
negatif teori belajar behaviorisme berimplikasi pada pengabaian terhadap
keunikan potensi dan bakat manusia yang bersifat individual. Secara teoritis
pemunculan teori belajar behaviorisme akan melahirkan suatu pandangan yang
melihat manusia sebagai makhluk yang sederhana dan bersifat seragam. (Imam
Malik, 2011: 263)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan
respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia
dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori behviorisme dalam
belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan
respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan
oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak
penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur.
Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang
diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon)
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran
behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula
bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga
semakin kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Udin S. Winataputra, dkk.
2009. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.
John W. Santrock. 2008.
Psikologi Pendidikan Edisi 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Imam Malik. 2011.
Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Teras.
Jeanne Ellis Ormrod.
2008. Psikologi Pendidikan Edisi 6. Jakarta: Erlangga.
Djalali. 2011. Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Ratna Yudhawati &
Dany Haryanto. 2011. Teori-teori Dasar Psikologi Pendidikan. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Abdurrachman Abror. 1993.
Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Muhibbin Syah. 2006.
Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar