Halaman

1/08/2013

makalah masa pertubuhan dan perkembangan pendidikan islam


BAB I
PENDAHULUAN
            Mempelajari sejarah pendidikan islam amat penting,terutama bagi pelajar-pelajar agama dan pemimm\pin-pemimpin islam.karena di dalam mata pelajaran sejarah pendidikan islam, pelajar dapat mengetahui sejarah atau peristiwa peristiwa di masa silam,baik sosial politik ekonomi maupun agama atau budaya pada suatu bangsa atau negara atau dunia.
             Secara umum sejarah pendidikan islam mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan manusia khususnya bagi umat muslim sendiri,karena sejarah menpunyai atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan kehidupan umat manusia.
            Sejarah pendidikan islam selain dapat menimbulkan nilai nilai baru bagi pertumbuhan umat manusia,sejarah pendidikan islam juga mempunyai kegunaan sebagai faktor faktor keteladanan bagi umat umat sekarang.
            Oleh karena itu pada kesempatan kali ini pemakalah ingin sedikit membahas tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam, yang mana pembahasannya mencakup sebagai berikut;
1.      Masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam
2.      Pusat pusat pendidikan islam dan tokoh tokohnya
3.      Pengajaran al qur’an




BAB II
PEMBAHASAN
Masa Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam
            Pada masa Nabi Muhammad SAW pendidikan Islam berarti memasukan ajaran Islam ke dalam unsur-unsur budaya bangsa Arab pada masa itu.
Dalam masa pembinaan, ada beberapa kemungkinan yang terjadi, yaitu:
  1. Adakalanya Islam mendatangkan sesuatu unsur yang sifatnya memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada, seperti Al-Qur’an. Pada saat itu unsur budaya sastra Arab diakui mempunyai tingkatan yang tinggi. Pada mulanya mereka memiliki kebanggan untuk membaca dan menghafalkan syair-syair yang indah, maka dengan didatangkannya Al-Qur’an yang yang tidak kalah indahnya,berarti mereka meras unsur budaya mereka diperkaya dan disempurnakan.
  2. Adakalanya Islam mendatangkan sesuatu ajaran yang sifatnya meluruskan kembali nilai-nilai yang ada yang dalam kenyataan praktisnya sudah menyimpang dari ajaran aslinya.contoh dalam hal ini adalah ajaran tauhid.  
  3. Adakalanya islam mendatangkan ajaran yang sifatnya bertentangan sama sekali dengan budaya yang ada sebelumnya. Pembentukan budaya masyarakat yang bersih dari unsur-unsur perbudakan, perjudian, pemabukan dan sebagainya adalah contoh-contoh yang konkrit dalam hal ini.
  4. Budaya yang telah ada dan tidak bertentangan dengan ajaran islam, pada umumnya dibiarkan tetap berlaku dan berkembang dengan mendapatkan pengarahan-pengarahan seperlunya. Pada umumnya kehidupan perekonomian, sarana pemenuhan kebutuhan hidup dan unsur-unsur kebutuhan manusiawi yang telah ada dibiarkan berkembang dengan menjaga agar jangan sampai merugikan, baik kepentingan perorangan, masyarakat maupun perkembangan budaya Islami pada umumnya.
  5. Islam mendatangkan ajaran baru yang belum ada sebelumnya, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan perkembangan budayanya.
Dengan demikian, terbentuklah satu setting nilai dan budaya Islami yang lengkap dan sempurna dalam ruang lingkupnya yang sepadan, baik dari seggi situasi dan kondisi maupun waktu dan perkembagan zamannya. Setting tersebutlah yang diwariskan kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif dalam arti bahwa nilai dan budaya yang ada ditingkatkan kualitasnya sehingga menjadi lebih baik dan lebih sempurna, sedangkan secara kuantitatif, mengarahkan kepada pembentukan ajaran dan budaya baru untuk menambah kesempurnaan dan kesejahteraan hidup manusia. Sumber pengembangan tersebut tidak lain kecuali wahyu Allah yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah.
Pendidikan Islam pada masa pertumbuhan dan perkembangan, juga pada masa-masa berikutnya mempunyai dua sasaran, yaitu:
a.       Generasi muda (sebagai generasi penerus) dan masyarakat bangsa lain yang belum menerima ajaran Islam
b.      Penyampaian ajaran Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang di dalam Islam lazim disebut sebagai dakwah Islami.
Dalam artinya yang pertama, yaitu pewarisan ajaran Islam kepada generasi penerus disebut sebagai pendidikan Islam.
Dengan demikian telah jelas bahwa sasaran pembudayaan Islam bukan hanya mewariskan kepada generasi muda saja, tetapi juga meluaskan jangkauan penetrasi budaya Islami kepada budaya umat, kepada bangsa-bangsa di luar negeri Arab yang sudah dirintis oleh Nabi Muhammad SAW melalui pengiriman utusan-utusan untuk menyampaikan ajakan menerima Islam kepada para raja dan penguasa disekitar Arab dengan tujuan untuk menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat bangsa/suku bangsa agar mereka menerimanya menjadi sistem hidup. Tetapi penguasa di luar Jazirah Arab  memberikan reaksi yang keras, bahkan sampai ada yang membunuh utusan Nabi Muhammad SAW dan ada pula yang bersiap-siap untuk menyerang Madinah.
Untuk menghadapi serangan dari luar tersebut, Nabi Muhammad mengirimkan pasukan yang terdiri dari sejumlah kaum muslimin. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah Islam dengan perang Mu’tah di bawah pimpinan mula-mula Zaid bin Harisah, kemudian oleh Ja’far bin abi Talib, lalu oleh Abdullah bin Rawahah, dan akhirnya oleh Khalid bin Walid. Peristiwa tersebut terjadi di daerah Syam berhadapan dengan pasukan Syurahbil penguasa Heraclius[1]. Setiap pasukan kaum muslimin menguasai suatu daerah segera sebagian sahabat mendapat tugas untuk menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk. Mereka menjadi yang bertindak sebagai pendidik atau guru-guru agama, sehingga timbul pusat-pusat pendidikan Islam di luar Madinah.

Suatu peristiwa penting dalam Sejarah Pendidikan Islam di masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat adalah peristiwa pemberontakan dari orang-orang murtad yang enggan membayar zakat, serta timbulnya nabi-nabi palsu pada awal kekhalifahan Abu Bakar. Para pemberontak tersebut adalah kalangan orang-orang yang baru masuk Islam dan belum mantap keIslamannya. Untuk mengatasi pemberontakan tersebut Abu Bakar mengirimkan pasukan yang terdiri dari para sahabat, yang akhirnya terjadi pertempuran yang cukup hebat, sehingga banyak di antara para sahabat yang mati syahid[2] , yang menyebabkan berkurangnya penghafal-penghafal Al-Qur’an, guru dan pendidik Islam.
            Untuk menjaga agar Al-Qur’an tidak sampai hilang, maka penulisan al-Qur’an yang pada masa Nabi Muhammad SAW masih belum tersusun sesuai dengan hafalan para sahabat, dituliskan kembali dan dijadikan satu mushaf. Para sahabat dikirim keberbagai daerah yang telah dikuasai kaum muslimin, untuk mengajarkan Al-Qur’an dan memasukkan ajaran Islam ke dalam budaya penduduk daerah-daerah baru tersebut.
            Bebarengan dengan pengembangan daerah kekuasaan islam pada masa-masa berikutnya, berkembang pula pusat-pusat kegiatan pendidikan Islam, baik bagi mereka yang baru masuk Islam, bagi para generasi muda (anak-anak), maupun bagi mereka yang akan memperdalam dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam Islam.
  1. Pusat-pusat Pendidikan Islam
Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam, menerangkan bahwa pusat-pusat pendidikan tersebut tersebar di kota-kota besar sebagai berikut:
a)      Di Kota Makkah dan Madinah (Hijaz)
b)      Di Kota Basrah dan Kufah (Irak)
c)      Di Kota Damsyik dan Palestina (Syam)
d)     Di Kota Fistat (Mesir)
Di pusat-pusat pendidikan tersebut, para sahabat memberikan pelajaran agama Islam kepada murid-muridnya, dan di pusat-pusat pendidikan tersebut berdirilah madrasah-madrasah yang masih merupakan tempat memberikan pelajaran dalam bentuk khalaqah di masjid atau tempat pertemuan lainnya.
Di antara madrasah-madrasah yang terkenal pada masa pertumbuhan pendidikan Islam ini adalah:


a.     Madrasah Makkah
Guru pertama yang mengajar di Makkah, ialah Mu’tad bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al-Qur’an, hukum-hukum halaldan haram dalam Islam. Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86 H), Abdullah bin Abbas pergi ke Makkah dan mengajar di sana. Ia mengajarkan Tafsir, Hadis, Fiqh dan Sastra. Abdullah bin Abbas merupakan pembangun madrasah Makkah yang kemudian menjadi termasyhur keseluruh penjuru negeri Islam.
Diantara murid-murid Abdullah bin Abbas yang menggantikannya sebagai guru di madrasah Makkah ini, adalah Mujahid bin Jabbar, seorang Tafsir Al-Qur’an yang meriwayatkannya dari Ibn Abbas, Atak bin Abu Rabah, yang termasyhur keahliannya dalam Ilmu Fiqh, dan Tawus bin Kaisan, seorang fuqoha dan mufti di Makkah. Kemudian diteruskan oleh murid-murid berikutnya, yang terkenal yaitu: Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid Al Zanji. Imam Syafi’i sebelum berguru ke Madinah, pernah belajar di Madrasah Makkah kepadakedua ulama tersebut.

b.     Madrasah Madinah
Madrash ini lebih termasyhur dan lebih dalam ilmunya. Di antara sahabat yang mengajar di madrasah Madinah ini, adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Talib, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Umar. Zaid bin Sabit adalah seorang ahli Qiraat dan Fiqh, dan beliaulah yang mendapatkan tugas memimpin penulisan kembali Al-Qur’an. Sedangkan Abdullah bin Umar adalah seorang ahli hadis. Beliau dianggap sebagai pelopor mazhab Ahl al Hadis yang berkembang pada masa-masa berikutnya.
Setelah ulama-ulama sabahat wafat, digantikan oleh murid-muridnya (tabi’in) yang terkenal, yaitu Sa’ad bin Musyayab dan Urwah bin Al-Zubair bin al-Awwan, yang pada generasi berikutnya kemudian muncul seorang ahli Hadis dan Fiqh: Ibn Syihab Al-Zuhri. Dan dari madrasah mazhab yang termansyur.
c.      Madrasah Basrah
Ulama sahabat yang terkenal di Basrah ini ialah Abu Musa Al-Asy’ari yang terkenal sebagai ahli Fiqh, Hadis, dan ilmu Al-Qur’an, dan Anas bin Malik yang termasyhur dalam Ilmu Hadis.
Di antara guru madrasah Basrah yang terkenal adalah: Hasan Al-Basri dan Ibn Sirin. Hasan Al-Basri, di samping seorang ahli Fiqh, ahli pidato dan kisah, juga terkenal sebagai seorang ahli pikir dan ahli tasawuf. Ia dianggap sebagai perintis mazhab Ahl Al-Sunnah dalam lapangan Ilmu Kalam. Sedangkan Ibn Sirin, adalh seorang ahli Hadis dan Fiqh, yang belajar langsung dari Zaid bin Sabit dan Anas bin Malik.
d.     Madrasah Kufah
Ulama sahabat yang tinggal di Kufah ialah Ali bin Abi Talib, pengurus masalah politik dan urusan pemerintahan, dan Abdullah bin Mas’ud ialah sebagai guru agama. Ibnu Mas’ud adalah seorang ahli tafsir, ahli fiqh dan banyak meriwayatkan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Di antara murid-murid Ibnu Mas’ud yang terkenal yang kemudian menjadi guru di Kufah adalah: Alqamah, Al-Aswad, Masruq, Al-Haris bin Qais dan Amr bin Syurahbil. Madrasah Kufah ini kemudian melahirkan Abu Hanifah, salah seorang imam mazhab yang terkenal, dengan penggunaan ra’yu dalam berijtihad.
e.      Madrasah Damsyik
Setelah negeri Syam (Syria) menjadi negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam, maka Khalifah Umar bin Khattab mengirimkan tiga orang guru agama ke negeri itu, yaitu: Muaz bin Jabal mengajar di Palestina, Ubadah mengajar di Hims dan Abu Dardak mengajar di Damsyik. Kemudian mereka digantikan oleh murid-muridnya (tabi’in) seperti Abu Idris Al-Khailany, Makhul al Dimasyiki, Umar bin Abdul Aziz dan Raja’bin Haiwah. Akhirnya madrasah itu melahirkan imam penduduk Syam, yaitu Abdurrahman Al-Auza’i yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu Hanifah.
f.       Madrasah Fistat (Mesir)
Sahabat pendiri madrasah dan guru di Mesir adalah Abdullah bin Amr bin Al-As. Ia adalah seorang ahli Hadis. Ia tidak hanya menghafal hadis-hadis yang di dengarnya dari Nabi Muhammad SAW melainkan juga menuliskannya dalam catatan, sehingga ia tidak lupa atau khilaf dalam meriwayatkan hadis-hadis itu kepada murid-muridnya. Guru berikutnya yang termasyhur sesudahnya ialah Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan Abdillah bin Abu Ja’far bin Rabi’ah. Di antara murid Yazid yang terkenal adalah Abdullah bin Lahi’ah dan Al-Lais bin Said. Al-Lais bin Said terkenal sebagai ulama yang mempunyai mazhab tersendiri dalam bidang fiqh, sebagaimana Al-Auza’i[3].
Para ulama sahabat mempunyai keahlian ilmiah yang berbeda-beda dan kepribadian yang berlainan. Yang sangat termasyhur di antara mereka itu ialah:
1)      Abdullah bin Umar di Madinah
2)      Abdullah bin Mas’ud di Kufah
3)      Abdullah bin abbas di Makkah
4)      Abdullah bin Amr bin Al-Ash di Mesir
Inilah empat orang Abdullah yang sangat besar sekali jasanya dalam mengerjakan ilmu-ilmu agama kepada murid-muridnya.
Sahabat-sahabat tidak menghafal semua perkataan Nabi Muhammad SAW dan tidak melihat semua perbuataannya. Akibatnya hadis-hadis yang diajarkan oleh ulama di Madinah misalnya, kadang-kadang tidak dikenal oleh ulama di Kufah. Hadis-hadis yang diajarkan oleh guru di Makkah, kadang-kadang tidak dikenal oleh guru di Mesir.
Oleh sebab itu para pelajar tidak mencukupkan belajar pada seorang ulama di negeri tempat tinggalnya, melainkan mereka melawat ke kota yang lain untuk melanjutkan ilmunya. Pelajar Mesir melawat ke Madinah, pelajar Madinah melawat ke Kufah, pelajar Kufah melawatke Syam, pelajar Syam melawat kian kemari dan begitulan seterusnya. Dengan demikian dunia ilmu pengetahuan tersebar ke seluruh kota-kota di negeri Islam[4].
  1. Pengajaran Al-Qur’an
Intisari ajaran Islam adalah apa yang termaktub dalam Al-Qur’an. Sedangkan Hadis ataupun Sunnah Rasulullah merupakan penjelasan dari apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an.
Nabi Muhammad SAW telah dengan sempurna menyampaikan Al-Qur’an kepada para sahabat, dan telah dengan sempurna pula memberikan penjelasan-penjelasan menurut keperluannya pada masa itu. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, sumber pengajaran Al-Qur’an adalah para sahabat. Mereka bertanggung jawab untuk mengajarkan Al-Qur’an memberikan penjelasan dan pengertian yang dikandung oleh Al-Qur’an agar dimengerti oleh orang-orang yang baru masuk Islam dengan memberikan contoh tentang cara mempraktekkan ajaran Al-Qur’an tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Problem pertama yang dihadapi oleh para sahabat dalam pengajaran Al-Qur’an yaitu Al-Qur’an secara lengkap dan sempurna ada dalam hafalan umumnya para sahabat, tetapi tentunya tidak semua sahabat hafal sepenuhnya Al-Qur’an. Di samping itu Al-Qur’an juga masih dalam bentuk tulisan-tulisan yang berserakan, yaitu yang ditulis oleh para sahabat yang pandai menulis atas perintah Nabi Muhammad SAW selama proses penurunan Al-Qur’an.
Atas usulan Umar bin Khattab karena khawatir ayat-ayat Al-Qur’an akan hilang bersama kematian para sahabat penghafal Al-Qur’an yang meninggal dalam peperangan Yamamah, Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai ketua Tim. Zaid bin Tsabit merupakan salah satu sahabat yang menjadi sekretaris Rasul yang ditugaskan untuk menuliskan wahyu Al-Qur’an.
Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, Zaid bin Sabit dibantu oleh beberapa orang sahabat lainnya yang hafal Al-Qur’an, yaitu Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Talib dan Usman bin Affan. Setelah seluruh ayat-ayat Al-Qur’an terkumpul dan disusun menurut susunan dan urutan, kemudian dituliskan kembali dalam lembaran-lembaran yang seragam, dan diikat menjadi satu mushaf.
Pada masa itu pengajaran Al-Qur’an kepada orang yang baru masuk islam  berlangsung secara hafalan, para sabahat juga memberikan penjelasan seperlunya tentang arti dari ayat-ayat tersebut menurut apa yang diterimanya dari Rasulullah SAW dan memberikan contoh pelaksanaan atau praktek ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Problema yang kemudian muncul dalam pengajaran Al-Qur’an, adalah masalah pembacaan (qiraat). Al-Qur’an adalah bacaan dalam bahasa Arab. Jadi, mereka yang tidak berbahasa Arab harus menyesuaikan lidahnya dengan lidah orang Arab. Oleh karena itu, pengajaran Al-Qur’an tersebut selalu dibarengi dengan pengajaran bahasa Arab secara sederhana.
Problema qiraat tersebut semakin nampak setelah terjadi komunikasi antara kaum muslimin dari satu daerah dengan daerah lainnya, yang mendapatkan pelajaran Al-Qur’an dari sahabat-sahabat dengan dialek (lahjah) yang berbeda. Dan Rasulullah pun memperkenalkan hal yang demikian. Tetapi dengan perbedaan lahjah tersebut tentunya akan membingungkan mereka.Merekapun berselisih dalam pembacaan (qiraat) Al-Qur’an dan saling mempertahankan anggapan bahwa bacaan mereka yang benar sedangkan yang lainnya salah.
Sahabat yang mula-mula memperhatikan adanya pertikaian umat Islam dalam hal pembacaan Al-Qur’an tersebut adalah Huzaifah bin Yaman, sewaktu ia ikut dalam pertempuran di Armenia dan Azerbeijan. Setelah kembali ke Madinah, Huzaifah segera menemui Khalifah Usman bin Affan dan mengusulkan agar perselisihan di antara umat Islam segera di atasi.
Akhirnya Khalifah Usman bin Affan meminjam naskah yang disimpan oleh Hafsah binti Umar, untuk ditulis kembali oleh panitia yang sengaja ditunjuknya, yang diketuai oleh Zaid bin sabit dengan anggota: Abdullah bin Zubair bin Ash dan Abdurrahman bin Haris. Dalam menuliskan kembali Al-Qur’an tersebut, Usman menasihatkan untuk:
1)      Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur’an
2)      Apabila ada pertikaian antara mereka tentang bacaan tersebut, maka haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur’an itu diturunkan menurut dialek mereka.
Al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai Al-Mushaf. Kemudian Mushaf tersebut dibuat lima buah Mushaf, yang masing-masing dikirim ke Makkah, Syiria, Basrah dan Kufah, sedangkan yang satu dipegang Khalifah Usman di Madinah. Khalifah Usman memerintahkan agar catatan-catatan yang ada sebelumnya dibakar, supaya umat Islam berpegang kepada mushaf yang lima itu.
Manfaat pembukuan Al-Qur’an di masa Usman adalah:
a)      Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisannya.
b) Menyatukan bacaan, dan kendatipun masih ada perbedaannya,     namun harus tidak berlawanan dengan ejaan Mushaf Usman. Dan bacaan-bacaan yang tidak sesuai tidak diperbolehkan.
b)      Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut sebagai yang kelihatan pada mushaf-mushaf sekarang ini[5].
Sejak itulah pengajaran Al-Qur’an secara berangsur-angsur menjadi satu sebagaimana yang tertulis dalam mushaf, dan selainnya ditetapkan tidaksah dan akhirnya ditinggalkan.
Untuk memudahkan pengajaran Al-Qur’an bagi kaum muslimin yang tidak berbahasa Arab, maka guru Al-Qur’an telah mengusahakan antara lain:
a)      Mengembangkan cara membacaAl-Qur’an dengan baik yang kemudian menimbulkan ilmu Tajwid Al-Qur’an
b)      Meneliti cara pembacaan Al-Qur’an  (qiraat) yang telah berkembang pada masa itu, mana yang sah dan mana yang tidak sah, yang akhirnya menimbulkan adanya Ilmu Qira’at, yang kemudian timbul Qira’at al Sab’ah
c)      Memberikan tanda-tanda baca dalam tulisan mushaf sehingga menjadi mudah dibaca dengan benar bagi mereka yang baru belajar membaca Al-Qur’an.
d)     Memberikan penjelasan tentang maksud dan pengertian yang dikandung oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang diajarkan yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Tafsir. Pada mulanya diajarkan penjelasan-penjelasan ayat Al-Qur’an yaitu berupa hadis-hadis, kemudian berkembang cara-cara penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan akal pikiran dengan berpedoman kepada kaidah-kaidah bahasa Arab.
Oleh karena itu, pengajaran bahasa Arab, dengan kaidah-kaidahnya, selalu menyertai pengajaran Al-Qur’an kepada kaum muslimin non Arab, dengan tujuan agar mereka mudah membaca dan kemudian memahami Al-Qur’an yang mereka pelajari.
 Pengajaran Al-Qur’an pada masa khalifah-khalifah Rosyidin dan Umaiyah adalah dengan pengajaran bertingkat.Tingkat pertama adalah Kuttab,pada tingkat ini anak diajarkan menulis dan membaca/ menghafal Al-Qur’an serta belajar pokok-pokok Agama Islam.Setelah tamat Al-Qur’an mereka meneruskan pelajaran ke masjid.Pelajaran di masjid itu terdiri dari tingkat menengah dan tingkat tinggi.Ilmu-ilmu yang diajarkan pada tingkat menengah dan tertinggi ini terdiri dari :Al-Qur’an dan tafsirnya,hadist dan mengumpulkannya,dan fiqih(tasyri’).  

BAB III
PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Pendidikan Islam pada masa nabi Muhammad SAW berarti memasukan ajaran Islam ke dalam unsur-unsur budaya bangsa Arab pada masa itu.. Pendidikan islam pada masa pertumbuhan dan perkembangan juga pada masa-masa berikutnya mempunyai dua sasaran, yaitu:
A.Generasi muda (sebagai generasi penerus) dan masyarakat bangsa lain yang ajaran Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang di dalam Islam lazim disebut sebagai dakwah I
B.ajaran Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang di dalam Islam lazim disebut sebagai dakwah Islami
Pusat pendidikan islam yang tersebar ada pada masa khalifa-khalifah Rasyidindan Bani umayah
  1. Di Di Kota Makkah dan Madinah (Hijaz)
  2.Di kota Basrah danKuffah
  3.Di kota Damsyik dan Palestina (Syam)
 4.Di kota Fistat (Mesir).
Peristiwa terpenting dalam pengajaran Al-Qur’an pada masa khalifah Abu bakar As-sidiq adalah di kumpulkanya ayat-ayat al-Qur’an dan dituliskan kembali dalam lembaran-lembaran yang seragam dan diikat menjadi satu mushaf oleh Zaid bin Sabit dibantu oleh beberapa orang sahabat lainnya yang hafal Al-Qur’an. Ini semua atas usulan Umar bin Khatab.



















DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Yunus,1990,Sejarah Pendidikan islam,Jakarta:PT.HIDA KARYA AGUNG
Zuhairini,1997,sejarah pendidikan islam,Jakarta;Bumi Aksara









[1]  A. Syalabi, op.cit., hal. 165. Lihat juga: T.M. Hasbi Ash Siddiqy, op.cit., hal. 89/90.

[2]  Mahmud Yunus, op.cit., hal. 29.
[3]  Ibid., hal. 33.
[4]  Ibid., hal. 34.
[5]  T.M. Hasbi Ash Shiddiqy, op.cit., hal. 189.

1/04/2013

makalah aplikasi behaviorisme


BAB I
PENDAHULUAN
    A. Latar belakang
    Teori belajar Behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gege dan berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dan pengalaman.
        Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
    Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur.
    B. Rumusan masalah
 Berdasarkan latar belakang di atas pemakalah ingin sedikit membahas tentang:
 1. Aplikasi Teori Behaviorisme
2. Teori Belajar Aliran Behaviorisme
 3. Penerapan Teori Belajar Pavlov, Thorndike dan Watson dalam Proses Pembelajaran
4. Penerapan Teori Belajar Pavlov, Thorndike dan Watson dalam Proses Pembelajaran
5. Implikasi

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Ciri-ciri dan Tujuan Teori Behaviorisme
Untuk mempermudah mengenal teori belajar behavioristik dapat dipergunakan ciri-cirinya yakni:
    1. mementingkan pengaruh lingkungan (environmentalistis)
    2. mementingkan bagian-bagian (elentaristis)
    3. mementingkan peranan reaksi (respon)
    4. mementingkan mekanisme terbentuknya hasil belajar
    5. mementingkan hubungan sebab akibat pada waktu yang lalu
    6. mementingkan pembentukan kebiasaan.
Selain memiliki enam ciri-ciri di atas teori belajar Behaviorisme juga memiliki tujuan. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
 Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

B.      Aplikasi Teori Behaviorisme
 Aplikasi teori behaviorisme dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media, dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behaviorisme memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur rapi, sehingga belajar adalah pemerolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan kepada siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pengetahuan yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. (Syamsul Huda Rohmadi, 2012 : 39-40)
Dalam pembelajaran yang menganut teori behaviorisme, siswa harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat penting, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar dikategorikan sebagai perilaku yang pantas diberi hadiah. Siswa adalah objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang diluar diri siswa.
 Secara umum, langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Siciati dan Prasetya Irawan (2001) adalah sebagai berikut :
    1. Menentukan tujuan pembelajaran
    2.Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini, termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal siswa
    3. Menentukan materi pelajaran
    4. Menguraikan materi menjadi bagian kecil-kecil
    5. Menyajikan materi pelajaran
    6. Memberikan stimulus
    7. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan siswa
    8. Memberikan penguatan atau hukuman
    9. Memberikan stimulus baru
    10. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan siswa
    11. Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman, dan seterusnya
    12. Evaluasi hasil belajar
    (Syamsul Huda Rohmadi, 2012 : 39-40)
C.  Teori Belajar Aliran Behaviorisme
    a. Pengkondisian klasik (classical conditioning)
 Pengkondisian klasik adalah tipe pembelajaran dimana suatu organisme belajar untuk mengaitkan atau mengasosiasikan stimuli. Dalam pengkondisian klasik, stimulus netral (seperti melihat seseorang) diasosiasikan dengan stimulus yang bermakna (seperti makanan) dan menimbulkan kapasitas untuk mengeluarkan respon yang sama. Tokoh aliran ini yaitu Ivan Pavlov dan John B. Watson. (John W. Santrock, 2008:268)
 Ada tiga fenomena umum dalam Pengkondisian Klasik, yaitu :
    1. Generalisasi, yaitu stimulus lain yang analog dengan stimulus terkondisi yang akan menghasilkan respon yang sama. Dalam teori perilaku, generalisasi adalah alat utama dimana pembelajaran mentransfer apa yang telah mereka pelajari dalam satu situasi ke situasi yang baru.
    Contoh : murid dimarahi karena ujian biologinya buruk, saat murid itu mulai bersiap untuk ujian kimia, dia juga menjadi gugup karena dua mata pelajaran itu saling berkaitan. Jadi, murid itu menggeneralisasikan satu ujian mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya.
    2. Diskriminasi, yaitu stimulus lain yang tidak ada hubungannya dengan stimulus terkondisi tidak akan direspon.
    Contoh : cemas pada ujian hafalan Al-Qur’an tidak akan berpengaruh pada ujian psikologi pendidikan
    3. Pelenyapan (Extinction), yaitu hilangnya respon terkondisi karena tidak adanya penguatan stimulus bermakna.
 Contoh : ketika pelajaran Matematika tidak lagi dihubungkan dengan kegagalan, atau ketika guru tidak pernah lagi diasosiasikan dengan penghinaan, respon terkondisi akan berkurang dan pada akhirnya menghilang. Dengan kata lain, ekstinksi telah terjadi. (Jeanne Ellis Ormrod, 2008: 430)
    Pengkondisian Klasik Ivan Pavlov
            Untuk memahami teori pengkondisian Ivan Pavlov, kita harus memahami dua tipe stimuli dan dua tipe respons, yaitu: Unconditioned Stimulus (US), Unconditioned Respons (UR), Conditioned Stimuluis (CS), Conditioned Respons (CR). Dalam percobaan Pavlov, seekor anjing akan berliur jika mencium bau daging. Bau daging merupakan stimulus yang tak terkondisi, sementara liur merupakan respons (refleks) yang juga tak terkondisi. Kemudian daging ditambah dengan cahaya lampu dan digunakan sebagai stimulus. Setelah pengulangan beberapa kali, diperoleh hasil bahwa anjing tidak akan berliur hanya oleh cahaya lampu tanpa ada daging (proses asosiasi). Dengan demikian cahaya lampu menjadi stimulus yang terkondisi dan liur menjadi respons yang terkondisi. Dan hasil percobaan mengatakan bahwa gerakan refleks itu dapat dipelajari dan dapat berubah karena mendapat latihan, sehingga dapat dibedakan dua macam refleks, yaitu refleks bersyarat/refleks yang dipelajari, yaitu keluarnya air liur karena menerima/bereaksi terhadap warna sinar tertentu, atau terhadap suatu bunyi tertentu. (Djalali, 2011: 85)
 Dari teori pengkondisian klasik yang dilakukan oleh Ivan Pavlov, kita dapat mengaplikasikan teori tersebut ke dalam pembelajaran. Pengkondisian klasik dapat berupa pengalaman positif dan negatif. Pengkondisian klasik berupa pengalaman positif, misalnya di antara hal-hal di sekolah anak yang menghasilkan kesenangan karena telah dikondisikan secara klasik adalah lagu favorit, perasaan bahwa kelas adalah tempat yang aman dan menyenangkan, dan kehangatan dan perhatian guru, lagu bisa jadi merupakan hal netral bagi murid sebelum murid bergabung dengan murid lain untuk menyanyikannya dengan diiringi oleh perasaan yang positif. Sedangkan Pengkondisian klasik berupa pengalaman negatif, misalnya anak gagal dalam ujian dan ditegur, dan ini menghasilkan kegelisahan; setelah itu, anak mengasosiasikan ujian dengan kecemasan, sehingga menjadi stimulus terkondisi untuk kecemasan.


            Pengkondisian Klasik John B. Watson
Teori behaviorisme atau teori perilaku dari Watson sangat dipengaruhi oleh teori Pavlov maupun Thorndike yang menjadi landasan utamanya.
Menurut Watson, stimulus dan respons yang menjadi konsep dasar dalam teori perilaku pada umumnya, haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable). Dengan demikian, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar, karena dianggap terlalu kompleks untuk diketahui. Watson menyatakan bahwa semua perubahan mental yang mungkin terjadi dalam benak siswa adalah penting, namun hal itu tidak dapat menjelaskan apakah perubahan tersebut terjadi karena proses belajar atau proses pematangan semata. Hanya dengan tingkah laku yang dapat diamati maka perubahan yang bakal terjadi pada seseorang sebagai hasil proses belajar dapat diramalkan. (Udin S. Winataputra, dkk. 2009: 2.11)
 Interaksi antara stimulus dan respons terhadap berbagai situasi-proses pengkondisian-menurut Watson merupakan proses pengembangan kepribadian seseorang. Pernyataan Watson tersebut dilandaskan kepada penelitian yang dilakukannya terhadap sejumlah bayi. Watson mengemukakan bahwa pada dasarnya bayi yang baru dilahirkan hanya memiliki tiga jenis respons emosional, yaitu takut, marah, dan sayang. Kehidupan emosi manusia dewasa yang sangat kompleks, menurut Watson, merupakan hasil pengkondisian dari tiga jenis respons emosional dasar tersebut terhadap situasi yang bervariasi. Walaupun cukup kompleks, namun hasil proses pengkondisian tersebut tetap dapat diukur sehingga, sekali lagi hasil proses belajar dapat diramalkan.
    b. Pengkondisian Operan / instrumental (operan conditioning)
            Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalm operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning. (Ratna Yudhawati & Dany Haryanto, 2011: 43)
    Pengkondisian Operan Thorndike
Pada saat yang hampir sama dengan dilakukannya sebuah eksperimen pengkondisian klasik anjing oleh Ivan Pavlov, E.L Thorndike (1906) sedang mempelajari kucing dalam kotak. Penelitian-penelitian Thorndike pada dasarnya dirancang untuk mengetahui apakah binatang mampu memecahkan masalah dengan menggunakan “reasoning” atau akal, dan atau dengan mengkombinasikan beberapa proses berpikir dasar. Thorndike mengemukakan tiga dalil tentang belajar, yaitu “law of effect” (dalil sebab akibat), “law of exercise” (dalil latihan/pembiasaan), dan “law of readiness” (dalil kesiapan).
            Dari sekian banyak penelitian yang dilakukannya, Thorndike lalu menyimpulkan tentang pengaruh proses belajar tertentu terhadap proses belajar berikutnya, yang dikenal dengan proses “transfer of learning” atau perampatan proses belajar. Thorndike mengemukakan bahwa latihan yang dilakukan dan proses belajar yang terjadi dalam mempelajari suatu konsep akan membantu penguasaan atau proses belajar seseorang terhadap konsep lain yang sejenis atau mirip. Teori Connectionism dari Thorndike ini dikenal sebagai teori belajar yang pertama.
    Pengkondisian Operan Skinner
Pengkondisian operan, di mana konsekuensi perilaku akan menyebabkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan terjadi, merupakan inti dari behaviorisme Skinner (1938). Dalam teori skinner digunakan istilah penguatan (reinforcement) yang berarti segala konsekuensi yang mengikuti pemunculan suatu perilaku. Konsekuensi yang menyenangkan pada umumnya disebut reinforser, sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman (Abdurrachman Abror, 1993:20). Konsekuensi ini memperkuat kemungkinan munculnya perilaku yang diharapkan. Misalnya, jika seorang siswa dapat mengerjakan soal sebagai akibat menghafal materi maka siswa akan berusaha untuk selalu menghafal materi. (frekuensi menghafal materi akan meningkat)
Kesimpulan yang diperoleh skinner setelah melakukan serangkaian percobaannya ialah :
    1. Setiap langkah dalam proses belajar perlu dibuat pendek-pendek (bertahap) berdasarkan tingkah laku yang pernah dipelajari sebelumnya.
    2. Untuk setiap langkah yang pendek tersebut disediakan penguatan yang dikontrol dengan hati-hati.
    3. Penguatan harus diberikan sesegera mungkin setelah respons yang benar dimunculkan.
    4. Stimulus diskriminatif perlu dirancang sedemikian rupa agar dapat diperoleh perampatan stimulus dan peningkatan keberhasilan belajar.
    (Udin S. Winataputra, 2009:2.27)
D.    Penerapan Teori Belajar Pavlov, Thorndike dan Watson dalam Proses Pembelajaran
Teori belajar Classical Conditioning dari Pavlov, Connectionism dari Thorndike, dan Behaviorism dari Watson merupakan teori-teori dasar dari aliran perilaku dengan premis dasar yang relatif sama. Teori-teori ini di kemudian hari dikembangkan dan atau dimodifikasi oleh berbagai ahli menjadi beragam teori-teori baru dalam aliran perilaku, yang kemudian disebut aliran perilaku baru (neo-behaviorism). Sebelum kita membicarakan teori-teori belajar yang tergabung dalam aliran neo-behaviorisme, marilah kita simak kemungkinan penerapan teori-teori belajar Pavlov, Thorndike, dan Watson dalam proses pembelajaran.
            Konsep stimulus (Pavlov, Thorndike, Watson) diterapkan dalam proses pembelajaran dalam bentuk penjelasan tentang tujuan, ruang lingkup, dan relevansi pembelajaran, dan dalam bentuk penyajian materi. Sementara itu, konsep respons (Pavlov, Thorndike, Watson) diterapkan dalam bentuk jawaban siswa terhadap soal-soal tes dan atau ujian setelah materi disajikan, atau hasil karya siswa setelah prosedur pembuatan karya disampaikan. Proses pengkondisian atau interaksi antara stimulus dan respons (Pavlov) diterapkan dalam bentuk pemunculan stimulus yang bervariasi, baik stimulus tunggal, ganda, maupun kombinasi stimulus (parampatan dan atau diskriminasi stimulus-Pavlov). Misalnya, penyajian materi melalui uraian (ceramah) dan contoh, diskusi, penemuan kembali, kerja laboratorium, permainan dengan menggunakan media tunggal maupun beragam media (papan tulis, OHT, video, komputer, dan lain-lain). Hasil penelitian di dunia pembelajaran menyatakan bahwa penggunaan media yang beragam (dua atau lebih) secara variatif mengahasilkan dampak positif yang lebih tinggi dalam proses pembelajaran daripada media tunggal secara terus menerus (Chisholm & Elly, 1976). Selain itu, proses pengkondisian juga melibatkan konsep penguatan (Thorndike) yang diterapkan dalam bentuk pujian dan atau hukuman guru terhadap siswa serta penilaian guru terhadap hasil kerja siswa. Kreativitas guru dalam memanipulasi (Watson) proses pengkondisian ini membantu siswa seacara positif dalam proses pembelajaran. (Udin S. Winataputra, dkk. 2009: 2.12)
Dalam proses pengkondisian, berlaku tiga dalil tentang belajar, yaitu dalil sebab akibat, dalil latihan/pembiasaan, dan dalil kesiapan (Thorndike). Jika respons siswa terhadap stimulus yang diberikan guru (materi, contoh, gambar, dan lain-lain) menghasilkan rasa yang menyenangkan (dipuji, diminta membantu teman, nilai bagus, jawaban benar, dan lain-lain) bagi siswa, maka siswa cenderung untuk mengulang melakukan hal yang sama. Namun, jika respons siswa terhadap stimulus yang diberikan menghasilkan rasa tidak senang bagi siswa (nilai jelek, dimarahi, ditertawakan, dan lain-lain) maka siswa cenderung untuk tidak mengulang kelakuan yang sama. Di samping itu, respons yang benar akan semakin banyak dimunculkan jika siswa memperoleh latihan yang berulang-ulang (drill & practice). Dengan demikian, dalam setiap proses pembelajaran, latihan menjadi komponen utama yang harus dirancang dan dilaksanakan. Penyajian materi saja (dengan contoh, gambar, media, melalui beragam metode) sama sekali tidak menjamin pemunculan respons yang diharapkan jika tidak ada komponen latihannya dalam suatu proses pembelajaran. Hal ini tentunya mengingatkan kita bahwa latihan bagi siwa menjadi penting nilanya dalam suatu proses pembelajaran.
 Dengan demikian, guru tidak diharapkan terlalu banyak menggunakan waktu untuk berceramah menyajikan materi, namun lebih baik banyak menggunakan waktunya untuk siswa berlatih. Proses pembelajaran akan dapat berjalan dan respons yang benar akan dapat diharapkan kemunculannya jika terjadi dalam situasi belajar yang menyenangkan bagi siswa. Situasi belajar yang menyenangkan dalam hal ini diterjemahkan sebagai situasi yang tidak menyakitkan siswa secara fisik maupun mental. Situasi dimana perhatian siswa terfokus pada pembelajaran yang akan berlangsung dan situasi ketika siswa merasa siap untuk mengikuti pembelajaran. Sebaliknya, proses pembelajaran tidak akan dapat berjalan dan respons yang benar tidak akan dapat dimunculkan dalm situasi belajar yang tidak menyenangkan siswa, misalnya pada saat perhatian siswa terbagi (tidak fokus), dalam kelas yang panas, pada saat siswa baru saja sakit atau dimarahi orang tuanya, atau pada saat siswa tidak merasa siap untuk belajar.
            Proses pembelajaran juga akan berjalan dengan baik jika ada dorongan atau kebutuhan yang jelas dari pihak guru maupun siswa. Hal ini dioperasionalkan dalm bentuk tujuan intruksional atau tujuan pembelajaran (umum maupun khusus), yang harus dapat diukur sehingga perubahan perilaku siswa dapat jelas terlihat sebagai akibat dari proses pembelajaran (Watson). Dalam perencanaan pembelajaran, guru menuliskan tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran yang umum maupun yang khusus. Agar dapat diukur dan bersifat operasional, penulisan tujuan pembelajaran selalu menggunakan kata kerja operasional yang dapat diukur. Hal ini merupakan bentuk penerapan konsep “observable behaviour” (Watson). (Muhibbin Syah, 2006: 105)
Respons yang diharapkan dimunculkan siswa sebagai hasil belajar haruslah sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dengan demikian, jelaslah dapat terlihat apa-apa yang akan dicapai dari suatu proses pembelajaran, atau dengan kata lain, respons siswa sudah dapat diramalkan hanya dengan membaca atau melihat tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Perbedaan antara hasil belajar yang dicapai siswa dengan tujuan yang telah ditetapkan menunjukkan tingkat keberhasilan suatu proses pembelajaran.

E.      Implikasi
Secara teoritis pemunculan teori belajar behaviorisme akan melahirkan suatu pandangan yang melihat manusia sebagai makhluk yang sederhana dan bersifat seragam. Sedangkan secara praktis implikasi teori belajar behaviorisme terlihat dengan semakin banyaknya upaya-upaya membuat perencanaan pengajaran terutama dalam aspek ketrampilan, serta menjadikan kecakapan-kecakapan tertentu lebih bersifat operasional. Beberapa di antaranya adalah dalam bentuk strategi pembelajaran seperti maju berkelanjutan. Secara negatif teori belajar behaviorisme berimplikasi pada pengabaian terhadap keunikan potensi dan bakat manusia yang bersifat individual. Secara teoritis pemunculan teori belajar behaviorisme akan melahirkan suatu pandangan yang melihat manusia sebagai makhluk yang sederhana dan bersifat seragam. (Imam Malik, 2011: 263)







BAB III
 PENUTUP
A.    Kesimpulan
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori behviorisme dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
            Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.









DAFTAR PUSTAKA
    Udin S. Winataputra, dkk. 2009. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.
    John W. Santrock. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
    Imam Malik. 2011. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Teras.
    Jeanne Ellis Ormrod. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi 6. Jakarta: Erlangga.
    Djalali. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
    Ratna Yudhawati & Dany Haryanto. 2011. Teori-teori Dasar Psikologi Pendidikan. Jakarta: Prestasi Pustaka.
    Abdurrachman Abror. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
    Muhibbin Syah. 2006. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.