BAB I
PENDAHULUAN
Mempelajari sejarah
pendidikan islam amat penting,terutama bagi pelajar-pelajar
agama dan pemimm\pin-pemimpin islam.karena di dalam mata pelajaran sejarah pendidikan islam, pelajar dapat
mengetahui sejarah atau peristiwa peristiwa di masa silam,baik sosial politik
ekonomi maupun agama atau budaya pada suatu bangsa atau negara atau dunia.
Secara umum sejarah pendidikan islam mempunyai
kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan manusia khususnya bagi umat muslim
sendiri,karena sejarah menpunyai atau mengandung kekuatan yang dapat
menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan
kehidupan umat manusia.
Sejarah
pendidikan islam selain dapat menimbulkan nilai nilai baru bagi pertumbuhan
umat manusia,sejarah pendidikan islam juga mempunyai kegunaan sebagai faktor
faktor keteladanan bagi umat umat sekarang.
Oleh
karena itu pada kesempatan kali ini pemakalah ingin sedikit membahas tentang
sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam, yang mana pembahasannya
mencakup sebagai berikut;
1.
Masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam
2.
Pusat pusat pendidikan islam dan tokoh tokohnya
3.
Pengajaran al qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
Masa Pertumbuhan dan Perkembangan
Pendidikan Islam
Pada
masa Nabi Muhammad SAW pendidikan Islam berarti memasukan ajaran Islam ke dalam
unsur-unsur budaya bangsa Arab pada masa itu.
Dalam
masa pembinaan, ada beberapa kemungkinan yang terjadi, yaitu:
- Adakalanya Islam mendatangkan sesuatu unsur yang sifatnya memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada, seperti Al-Qur’an. Pada saat itu unsur budaya sastra Arab diakui mempunyai tingkatan yang tinggi. Pada mulanya mereka memiliki kebanggan untuk membaca dan menghafalkan syair-syair yang indah, maka dengan didatangkannya Al-Qur’an yang yang tidak kalah indahnya,berarti mereka meras unsur budaya mereka diperkaya dan disempurnakan.
- Adakalanya Islam mendatangkan sesuatu ajaran yang sifatnya meluruskan kembali nilai-nilai yang ada yang dalam kenyataan praktisnya sudah menyimpang dari ajaran aslinya.contoh dalam hal ini adalah ajaran tauhid.
- Adakalanya islam mendatangkan ajaran yang sifatnya bertentangan sama sekali dengan budaya yang ada sebelumnya. Pembentukan budaya masyarakat yang bersih dari unsur-unsur perbudakan, perjudian, pemabukan dan sebagainya adalah contoh-contoh yang konkrit dalam hal ini.
- Budaya yang telah ada dan tidak bertentangan dengan ajaran islam, pada umumnya dibiarkan tetap berlaku dan berkembang dengan mendapatkan pengarahan-pengarahan seperlunya. Pada umumnya kehidupan perekonomian, sarana pemenuhan kebutuhan hidup dan unsur-unsur kebutuhan manusiawi yang telah ada dibiarkan berkembang dengan menjaga agar jangan sampai merugikan, baik kepentingan perorangan, masyarakat maupun perkembangan budaya Islami pada umumnya.
- Islam mendatangkan ajaran baru yang belum ada sebelumnya, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan perkembangan budayanya.
Dengan
demikian, terbentuklah satu setting nilai dan budaya Islami yang lengkap dan
sempurna dalam ruang lingkupnya yang sepadan, baik dari seggi situasi dan
kondisi maupun waktu dan perkembagan zamannya. Setting tersebutlah yang
diwariskan kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif dalam arti bahwa nilai dan
budaya yang ada ditingkatkan kualitasnya sehingga menjadi lebih baik dan lebih
sempurna, sedangkan secara kuantitatif, mengarahkan kepada pembentukan ajaran
dan budaya baru untuk menambah kesempurnaan dan kesejahteraan hidup manusia. Sumber
pengembangan tersebut tidak lain kecuali wahyu Allah yaitu Al-Qur’an dan
As-sunnah.
Pendidikan
Islam pada masa pertumbuhan dan perkembangan, juga pada masa-masa berikutnya
mempunyai dua sasaran, yaitu:
a. Generasi
muda (sebagai generasi penerus) dan masyarakat bangsa lain yang belum menerima
ajaran Islam
b. Penyampaian
ajaran Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru
menerimanya yang di dalam Islam lazim disebut sebagai dakwah Islami.
Dalam
artinya yang pertama, yaitu pewarisan ajaran Islam kepada generasi penerus
disebut sebagai pendidikan Islam.
Dengan
demikian telah jelas bahwa sasaran pembudayaan Islam bukan hanya mewariskan
kepada generasi muda saja, tetapi juga meluaskan jangkauan penetrasi budaya
Islami kepada budaya umat, kepada bangsa-bangsa di luar negeri Arab yang sudah
dirintis oleh Nabi Muhammad SAW melalui pengiriman utusan-utusan untuk menyampaikan
ajakan menerima Islam kepada para raja dan penguasa disekitar Arab dengan
tujuan untuk menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat bangsa/suku bangsa
agar mereka menerimanya menjadi sistem hidup. Tetapi penguasa di luar Jazirah
Arab memberikan reaksi yang keras,
bahkan sampai ada yang membunuh utusan Nabi Muhammad SAW dan ada pula yang
bersiap-siap untuk menyerang Madinah.
Untuk
menghadapi serangan dari luar tersebut, Nabi Muhammad mengirimkan pasukan yang
terdiri dari sejumlah kaum muslimin. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah Islam
dengan perang Mu’tah di bawah pimpinan mula-mula Zaid bin Harisah, kemudian
oleh Ja’far bin abi Talib, lalu oleh Abdullah bin Rawahah, dan akhirnya oleh
Khalid bin Walid. Peristiwa tersebut terjadi di daerah Syam berhadapan dengan
pasukan Syurahbil penguasa Heraclius[1].
Setiap pasukan kaum muslimin menguasai suatu daerah segera sebagian sahabat
mendapat tugas untuk menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk. Mereka menjadi
yang bertindak sebagai pendidik atau guru-guru agama, sehingga timbul
pusat-pusat pendidikan Islam di luar Madinah.
Suatu
peristiwa penting dalam Sejarah Pendidikan Islam di masa setelah Nabi Muhammad
SAW wafat adalah peristiwa pemberontakan dari orang-orang murtad yang enggan
membayar zakat, serta timbulnya nabi-nabi palsu pada awal kekhalifahan Abu
Bakar. Para pemberontak tersebut adalah kalangan orang-orang yang baru masuk
Islam dan belum mantap keIslamannya. Untuk mengatasi pemberontakan tersebut Abu
Bakar mengirimkan pasukan yang terdiri dari para sahabat, yang akhirnya terjadi
pertempuran yang cukup hebat, sehingga banyak di antara para sahabat yang mati
syahid[2]
, yang menyebabkan berkurangnya penghafal-penghafal Al-Qur’an, guru dan
pendidik Islam.
Untuk menjaga agar Al-Qur’an tidak
sampai hilang, maka penulisan al-Qur’an yang pada masa Nabi Muhammad SAW masih
belum tersusun sesuai dengan hafalan para sahabat, dituliskan kembali dan
dijadikan satu mushaf. Para sahabat dikirim keberbagai daerah yang telah
dikuasai kaum muslimin, untuk mengajarkan Al-Qur’an dan memasukkan ajaran Islam
ke dalam budaya penduduk daerah-daerah baru tersebut.
Bebarengan dengan pengembangan
daerah kekuasaan islam pada masa-masa berikutnya, berkembang pula pusat-pusat
kegiatan pendidikan Islam, baik bagi mereka yang baru masuk Islam, bagi para
generasi muda (anak-anak), maupun bagi mereka yang akan memperdalam dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dalam Islam.
- Pusat-pusat Pendidikan Islam
Mahmud
Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan
Islam, menerangkan bahwa pusat-pusat pendidikan tersebut tersebar di
kota-kota besar sebagai berikut:
a) Di
Kota Makkah dan Madinah (Hijaz)
b) Di
Kota Basrah dan Kufah (Irak)
c) Di
Kota Damsyik dan Palestina (Syam)
d) Di
Kota Fistat (Mesir)
Di
pusat-pusat pendidikan tersebut, para sahabat memberikan pelajaran agama Islam
kepada murid-muridnya, dan di pusat-pusat pendidikan tersebut berdirilah
madrasah-madrasah yang masih merupakan tempat memberikan pelajaran dalam bentuk
khalaqah di masjid atau tempat pertemuan lainnya.
Di antara madrasah-madrasah yang
terkenal pada masa pertumbuhan pendidikan Islam ini adalah:
a.
Madrasah
Makkah
Guru
pertama yang mengajar di Makkah, ialah Mu’tad bin Jabal. Ialah yang mengajarkan
Al-Qur’an, hukum-hukum halaldan haram dalam Islam. Pada masa Khalifah Abdul
Malik bin Marwan (65-86 H), Abdullah bin Abbas pergi ke Makkah dan mengajar di
sana. Ia mengajarkan Tafsir, Hadis, Fiqh dan Sastra. Abdullah bin Abbas
merupakan pembangun madrasah Makkah yang kemudian menjadi termasyhur keseluruh
penjuru negeri Islam.
Diantara murid-murid Abdullah bin Abbas
yang menggantikannya sebagai guru di madrasah Makkah ini, adalah Mujahid bin
Jabbar, seorang Tafsir Al-Qur’an yang meriwayatkannya dari Ibn Abbas, Atak bin
Abu Rabah, yang termasyhur keahliannya dalam Ilmu Fiqh, dan Tawus bin Kaisan,
seorang fuqoha dan mufti di Makkah. Kemudian diteruskan oleh murid-murid
berikutnya, yang terkenal yaitu: Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid Al
Zanji. Imam Syafi’i sebelum berguru ke Madinah, pernah belajar di Madrasah
Makkah kepadakedua ulama tersebut.
b.
Madrasah
Madinah
Madrash
ini lebih termasyhur dan lebih dalam ilmunya. Di antara sahabat yang mengajar
di madrasah Madinah ini, adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Talib, Zaid bin
Sabit dan Abdullah bin Umar. Zaid bin Sabit adalah seorang ahli Qiraat dan
Fiqh, dan beliaulah yang mendapatkan tugas memimpin penulisan kembali Al-Qur’an.
Sedangkan Abdullah bin Umar adalah seorang ahli hadis. Beliau dianggap sebagai
pelopor mazhab Ahl al Hadis yang berkembang pada masa-masa berikutnya.
Setelah
ulama-ulama sabahat wafat, digantikan oleh murid-muridnya (tabi’in) yang
terkenal, yaitu Sa’ad bin Musyayab dan Urwah bin Al-Zubair bin al-Awwan, yang
pada generasi berikutnya kemudian muncul seorang ahli Hadis dan Fiqh: Ibn
Syihab Al-Zuhri. Dan dari madrasah mazhab yang termansyur.
c.
Madrasah
Basrah
Ulama sahabat yang terkenal di Basrah
ini ialah Abu Musa Al-Asy’ari yang terkenal sebagai ahli Fiqh, Hadis, dan ilmu
Al-Qur’an, dan Anas bin Malik yang termasyhur dalam Ilmu Hadis.
Di
antara guru madrasah Basrah yang terkenal adalah: Hasan Al-Basri dan Ibn Sirin.
Hasan Al-Basri, di samping seorang ahli Fiqh, ahli pidato dan kisah, juga
terkenal sebagai seorang ahli pikir dan ahli tasawuf. Ia dianggap sebagai
perintis mazhab Ahl Al-Sunnah dalam lapangan Ilmu Kalam. Sedangkan Ibn Sirin,
adalh seorang ahli Hadis dan Fiqh, yang belajar langsung dari Zaid bin Sabit
dan Anas bin Malik.
d.
Madrasah
Kufah
Ulama
sahabat yang tinggal di Kufah ialah Ali bin Abi Talib, pengurus masalah politik
dan urusan pemerintahan, dan Abdullah bin Mas’ud ialah sebagai guru agama. Ibnu
Mas’ud adalah seorang ahli tafsir, ahli fiqh dan banyak meriwayatkan
hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Di antara murid-murid Ibnu Mas’ud yang terkenal
yang kemudian menjadi guru di Kufah adalah: Alqamah, Al-Aswad, Masruq, Al-Haris
bin Qais dan Amr bin Syurahbil. Madrasah Kufah ini kemudian melahirkan Abu
Hanifah, salah seorang imam mazhab yang terkenal, dengan penggunaan ra’yu dalam
berijtihad.
e.
Madrasah
Damsyik
Setelah
negeri Syam (Syria) menjadi negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama
Islam, maka Khalifah Umar bin Khattab mengirimkan tiga orang guru agama ke
negeri itu, yaitu: Muaz bin Jabal mengajar di Palestina, Ubadah mengajar di
Hims dan Abu Dardak mengajar di Damsyik. Kemudian mereka digantikan oleh
murid-muridnya (tabi’in) seperti Abu Idris Al-Khailany, Makhul al Dimasyiki,
Umar bin Abdul Aziz dan Raja’bin Haiwah. Akhirnya madrasah itu melahirkan imam
penduduk Syam, yaitu Abdurrahman Al-Auza’i yang sederajat ilmunya dengan Imam
Malik dan Abu Hanifah.
f.
Madrasah
Fistat (Mesir)
Sahabat
pendiri madrasah dan guru di Mesir adalah Abdullah bin Amr bin Al-As. Ia adalah
seorang ahli Hadis. Ia tidak hanya menghafal hadis-hadis yang di dengarnya dari
Nabi Muhammad SAW melainkan juga menuliskannya dalam catatan, sehingga ia tidak
lupa atau khilaf dalam meriwayatkan hadis-hadis itu kepada murid-muridnya. Guru
berikutnya yang termasyhur sesudahnya ialah Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan
Abdillah bin Abu Ja’far bin Rabi’ah. Di antara murid Yazid yang terkenal adalah
Abdullah bin Lahi’ah dan Al-Lais bin Said. Al-Lais bin Said terkenal sebagai
ulama yang mempunyai mazhab tersendiri dalam bidang fiqh, sebagaimana Al-Auza’i[3].
Para
ulama sahabat mempunyai keahlian ilmiah yang berbeda-beda dan kepribadian yang
berlainan. Yang sangat termasyhur di antara mereka itu ialah:
1) Abdullah
bin Umar di Madinah
2) Abdullah
bin Mas’ud di Kufah
3) Abdullah
bin abbas di Makkah
4) Abdullah
bin Amr bin Al-Ash di Mesir
Inilah
empat orang Abdullah yang sangat besar sekali jasanya dalam mengerjakan
ilmu-ilmu agama kepada murid-muridnya.
Sahabat-sahabat
tidak menghafal semua perkataan Nabi Muhammad SAW dan tidak melihat semua
perbuataannya. Akibatnya hadis-hadis yang diajarkan oleh ulama di Madinah
misalnya, kadang-kadang tidak dikenal oleh ulama di Kufah. Hadis-hadis yang
diajarkan oleh guru di Makkah, kadang-kadang tidak dikenal oleh guru di Mesir.
Oleh
sebab itu para pelajar tidak mencukupkan belajar pada seorang ulama di negeri
tempat tinggalnya, melainkan mereka melawat ke kota yang lain untuk melanjutkan
ilmunya. Pelajar Mesir melawat ke Madinah, pelajar Madinah melawat ke Kufah,
pelajar Kufah melawatke Syam, pelajar Syam melawat kian kemari dan begitulan
seterusnya. Dengan demikian dunia ilmu pengetahuan tersebar ke seluruh
kota-kota di negeri Islam[4].
- Pengajaran Al-Qur’an
Intisari
ajaran Islam adalah apa yang termaktub dalam Al-Qur’an. Sedangkan Hadis ataupun
Sunnah Rasulullah merupakan penjelasan dari apa yang dimaksudkan oleh
Al-Qur’an.
Nabi
Muhammad SAW telah dengan sempurna menyampaikan Al-Qur’an kepada para sahabat,
dan telah dengan sempurna pula memberikan penjelasan-penjelasan menurut
keperluannya pada masa itu. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, sumber pengajaran
Al-Qur’an adalah para sahabat. Mereka bertanggung jawab untuk mengajarkan
Al-Qur’an memberikan penjelasan dan pengertian yang dikandung oleh Al-Qur’an
agar dimengerti oleh orang-orang yang baru masuk Islam dengan memberikan contoh
tentang cara mempraktekkan ajaran Al-Qur’an tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
Problem
pertama yang dihadapi oleh para sahabat dalam pengajaran Al-Qur’an yaitu
Al-Qur’an secara lengkap dan sempurna ada dalam hafalan umumnya para sahabat,
tetapi tentunya tidak semua sahabat hafal sepenuhnya Al-Qur’an. Di samping itu
Al-Qur’an juga masih dalam bentuk tulisan-tulisan yang berserakan, yaitu yang
ditulis oleh para sahabat yang pandai menulis atas perintah Nabi Muhammad SAW
selama proses penurunan Al-Qur’an.
Atas
usulan Umar bin Khattab karena khawatir ayat-ayat Al-Qur’an akan hilang bersama
kematian para sahabat penghafal Al-Qur’an yang meninggal dalam peperangan
Yamamah, Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai ketua Tim. Zaid bin Tsabit
merupakan salah satu sahabat yang menjadi sekretaris Rasul yang ditugaskan untuk
menuliskan wahyu Al-Qur’an.
Dalam
usaha mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, Zaid bin Sabit dibantu oleh
beberapa orang sahabat lainnya yang hafal Al-Qur’an, yaitu Ubay bin Ka’ab, Ali
bin Abi Talib dan Usman bin Affan. Setelah seluruh ayat-ayat Al-Qur’an
terkumpul dan disusun menurut susunan dan urutan, kemudian dituliskan kembali
dalam lembaran-lembaran yang seragam, dan diikat menjadi satu mushaf.
Pada
masa itu pengajaran Al-Qur’an kepada orang yang baru masuk islam berlangsung secara hafalan, para sabahat juga
memberikan penjelasan seperlunya tentang arti dari ayat-ayat tersebut menurut
apa yang diterimanya dari Rasulullah SAW dan memberikan contoh pelaksanaan atau
praktek ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Problema
yang kemudian muncul dalam pengajaran Al-Qur’an, adalah masalah pembacaan
(qiraat). Al-Qur’an adalah bacaan dalam bahasa Arab. Jadi, mereka yang tidak
berbahasa Arab harus menyesuaikan lidahnya dengan lidah orang Arab. Oleh karena
itu, pengajaran Al-Qur’an tersebut selalu dibarengi dengan pengajaran bahasa
Arab secara sederhana.
Problema
qiraat tersebut semakin nampak setelah terjadi komunikasi antara kaum muslimin
dari satu daerah dengan daerah lainnya, yang mendapatkan pelajaran Al-Qur’an
dari sahabat-sahabat dengan dialek (lahjah) yang berbeda. Dan Rasulullah pun
memperkenalkan hal yang demikian. Tetapi dengan perbedaan lahjah tersebut tentunya
akan membingungkan mereka.Merekapun berselisih dalam pembacaan (qiraat)
Al-Qur’an dan saling mempertahankan anggapan bahwa bacaan mereka yang benar
sedangkan yang lainnya salah.
Sahabat
yang mula-mula memperhatikan adanya pertikaian umat Islam dalam hal pembacaan
Al-Qur’an tersebut adalah Huzaifah bin Yaman, sewaktu ia ikut dalam pertempuran
di Armenia dan Azerbeijan. Setelah kembali ke Madinah, Huzaifah segera menemui
Khalifah Usman bin Affan dan mengusulkan agar perselisihan di antara umat Islam
segera di atasi.
Akhirnya
Khalifah Usman bin Affan meminjam naskah yang disimpan oleh Hafsah binti Umar,
untuk ditulis kembali oleh panitia yang sengaja ditunjuknya, yang diketuai oleh
Zaid bin sabit dengan anggota: Abdullah bin Zubair bin Ash dan Abdurrahman bin
Haris. Dalam menuliskan kembali Al-Qur’an tersebut, Usman menasihatkan untuk:
1) Mengambil
pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur’an
2) Apabila
ada pertikaian antara mereka tentang bacaan tersebut, maka haruslah dituliskan
menurut dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur’an itu diturunkan menurut dialek
mereka.
Al-Qur’an
yang telah dibukukan itu dinamai Al-Mushaf. Kemudian Mushaf tersebut dibuat
lima buah Mushaf, yang masing-masing dikirim ke Makkah, Syiria, Basrah dan Kufah,
sedangkan yang satu dipegang Khalifah Usman di Madinah. Khalifah Usman
memerintahkan agar catatan-catatan yang ada sebelumnya dibakar, supaya umat
Islam berpegang kepada mushaf yang lima itu.
Manfaat
pembukuan Al-Qur’an di masa Usman adalah:
a) Menyatukan
kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisannya.
b) Menyatukan bacaan, dan kendatipun
masih ada perbedaannya, namun harus
tidak berlawanan dengan ejaan Mushaf Usman. Dan bacaan-bacaan yang tidak sesuai
tidak diperbolehkan.
b) Menyatukan
tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut sebagai yang kelihatan pada
mushaf-mushaf sekarang ini[5].
Sejak
itulah pengajaran Al-Qur’an secara berangsur-angsur menjadi satu sebagaimana
yang tertulis dalam mushaf, dan selainnya ditetapkan tidaksah dan akhirnya
ditinggalkan.
Untuk
memudahkan pengajaran Al-Qur’an bagi kaum muslimin yang tidak berbahasa Arab,
maka guru Al-Qur’an telah mengusahakan antara lain:
a) Mengembangkan
cara membacaAl-Qur’an dengan baik yang kemudian menimbulkan ilmu Tajwid
Al-Qur’an
b) Meneliti
cara pembacaan Al-Qur’an (qiraat) yang
telah berkembang pada masa itu, mana yang sah dan mana yang tidak sah, yang akhirnya
menimbulkan adanya Ilmu Qira’at, yang kemudian timbul Qira’at al Sab’ah
c) Memberikan
tanda-tanda baca dalam tulisan mushaf sehingga menjadi mudah dibaca dengan
benar bagi mereka yang baru belajar membaca Al-Qur’an.
d) Memberikan
penjelasan tentang maksud dan pengertian yang dikandung oleh ayat-ayat
Al-Qur’an yang diajarkan yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Tafsir. Pada
mulanya diajarkan penjelasan-penjelasan ayat Al-Qur’an yaitu berupa
hadis-hadis, kemudian berkembang cara-cara penafsiran Al-Qur’an dengan
menggunakan akal pikiran dengan berpedoman kepada kaidah-kaidah bahasa Arab.
Oleh
karena itu, pengajaran bahasa Arab, dengan kaidah-kaidahnya, selalu menyertai
pengajaran Al-Qur’an kepada kaum muslimin non Arab, dengan tujuan agar mereka
mudah membaca dan kemudian memahami Al-Qur’an yang mereka pelajari.
Pengajaran Al-Qur’an pada masa khalifah-khalifah
Rosyidin dan Umaiyah adalah dengan pengajaran bertingkat.Tingkat pertama adalah
Kuttab,pada tingkat ini anak diajarkan menulis dan membaca/ menghafal Al-Qur’an
serta belajar pokok-pokok Agama Islam.Setelah tamat Al-Qur’an mereka meneruskan
pelajaran ke masjid.Pelajaran di masjid itu terdiri dari tingkat menengah dan
tingkat tinggi.Ilmu-ilmu yang diajarkan pada tingkat menengah dan tertinggi ini
terdiri dari :Al-Qur’an dan tafsirnya,hadist dan mengumpulkannya,dan
fiqih(tasyri’).
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Pendidikan
Islam pada masa nabi Muhammad SAW berarti memasukan ajaran Islam ke dalam
unsur-unsur budaya bangsa Arab pada masa itu.. Pendidikan islam pada masa
pertumbuhan dan perkembangan juga pada masa-masa berikutnya mempunyai dua
sasaran, yaitu:
A.Generasi
muda (sebagai generasi penerus) dan masyarakat bangsa lain yang ajaran Islam
dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang
di dalam Islam lazim disebut sebagai dakwah I
B.ajaran
Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya
yang di dalam Islam lazim disebut sebagai dakwah Islami
Pusat
pendidikan islam yang tersebar ada pada masa khalifa-khalifah Rasyidindan Bani
umayah
1. Di
Di Kota Makkah dan Madinah (Hijaz)
2.Di
kota Basrah danKuffah
3.Di kota Damsyik dan Palestina (Syam)
4.Di
kota Fistat (Mesir).
Peristiwa
terpenting dalam pengajaran Al-Qur’an pada masa khalifah Abu bakar As-sidiq
adalah di kumpulkanya ayat-ayat al-Qur’an dan dituliskan kembali dalam
lembaran-lembaran yang seragam dan diikat menjadi satu mushaf oleh Zaid bin
Sabit dibantu oleh beberapa orang sahabat lainnya yang hafal Al-Qur’an. Ini
semua atas usulan Umar bin Khatab.
DAFTAR
PUSTAKA
Mahmud Yunus,1990,Sejarah Pendidikan islam,Jakarta:PT.HIDA
KARYA AGUNG
Zuhairini,1997,sejarah pendidikan islam,Jakarta;Bumi Aksara